Jakarta (ANTARA News) - Dalam 11 tahun sejak undang-undang tentang lingkungan diberlakukan, hanya 40 kasus yang disidangkan dan divonis oleh pengadilan.
Menurut Asisten Deputi Penegakan Hukum Pidana dan Administrasi Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Dasrul Chaniago, sangat sedikitnya kasus yang berhasil disidangkan itu terutama karena masih banyaknya celah dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup.
"Kendala terbesarnya ya undang-undang. Undang-undang lingkungan hidup yang sekarang bermasalah, berbelit-belit, mudah `diplintir` dan bisa ditafsirkan aneh-aneh," katanya di Jakarta, Kamis.
Ia mencontohkan, isi undang-undang yang sering dijadikan pelaku dan pengacaranya sebagai alat untuk menghindari proses hukum diantaranya penjelasan umum atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007.
Dalam penjelasan itu antara lain disebutkan, "Sebagai penunjang hukum administrasi, berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas, yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi bidang hukum lain, seperti sanksi administrasi dan saksi perdata dan alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan mengantisipasi kemungkinan semakin munculnya tindak pidana yang dilakukan oleh suatu korporasi dalam Undang-undang ini diatur pula pertanggungjawaban korporasi."
"Ini sering diterjemahkan bahwa proses hukum terhadap perusahaan atau individu baru bisa dilakukan setelah ada teguran dan pembinaan. Padahal seharusnya kan tidak demikian," katanya.
Dasrul juga memperlihatkan dokumen permintaan pencabutan perkara yang dikirim pengacara kasus perusakan lingkungan kepada kepolisian yang menggunakan penjelasan umum undang-undang tersebut sebagai alasan.
Bahkan, menurut dia, ada oknum di Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang menggunakan penjelasan umum undang-undang tersebut untuk mencegah penyidikan terhadap suatu perusahaan yang diduga menjadi sumber kerusakan lingkungan.
"Saya pernah ditanya, `Pak kenapa ini disidik, kami sedang membina perusahaan ini`. Tapi undang-undang tidak menyebut soal pembinaan, jadi kami tetap jalan," katanya.
Dasrul menjelaskan pula bahwa beberapa definisi dalam undang-undang tersebut sangat tidak jelas sehingga pihaknya kesulitan membuktikan setiap tuduhan perusakan lingkungan dan meyakinkan jaksa bahwa kasus itu dapat dimenangkan.
"Proses penyidikan jadi lama, di pengadilan juga susah menang," katanya serta menambahkan proses penyidikan kasus perusakan lingkungan rata-rata memakan waktu lebih dari satu tahun dan 60 persen kasus perusakan lingkungan yang disidangkan hanya berakhir dengan vonis hukuman percobaan atau bebas murni.
Definisi yang dia maksudkan adalah definisi pencemaran lingkungan dan perusakan lingkungan.
Pasal 1 ayat 12 menyebutkan, "Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya."
Sementara dalam pasal 1ayat 14 tertulis, "Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan."
"Sangat sulit membuktikan kata per kata dalam pasal itu. Benar-benar dituntut kecerdasan dan kreatifitas lebih. Dan kami hanya bisa berusaha sekeras mungkin untuk membuktikannya," katanya.
Oleh karena itu, Dasrul berharap proses revisi undang-undang itu bisa segera selesai dan menghasilkan undang-undang pengelolaan lingkungan baru yang lebih jelas dan tegas.
(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008