Nouakchott, (ANTARA News) - Pasukan melakukan kudeta di Mauritania, Rabu, menangkap presiden serta perdana menteri dan menutup radio serta televisi pemerintah, kata beberapa sumber keamanan. Presiden Sidi Ould Cheikh Abdallahi dan Perdana Menteri Yahya Ould Ahmed Waghf ditangkap setelah pasukan bergerak ke ibukota negara itu pada Rabu pagi, kata sumber-sumber keamanan dan saksi mata. "Kami mengadakan kontak dengan kedutaan besar kami untuk memperoleh kepastian mengenai kejadian-kejadian yang berlangsung di Nouakchott. Berdasarkan informasi awal, tampaknya sekelompok jendral menahan perdana menteri," kata seorang jurubicara Kementerian Luar Negeri Perancis kepada AFP di Paris. Mauritania menghadapi sebuah krisis politik dan pada Senin, 48 anggota parlemen meninggalkan partai berkuasa, kurang dari dua pekan setelah mosi tidak percaya terhadap pemerintah mendorong perombakan kabinet. Abdallahi menjadi presiden pertama Mauritania yang terpilih secara demokratis tahun lalu setelah periode peralihan yang diawasi sebuah dewan militer yang mendepak presiden sebelumnya dalam sebuah kudeta tidak berdarah pada Agustus 2005. Negara gurun Afrika Barat itu memiliki sejarah kudeta sejak kemerdekaannya dari Perancis pada 1960. Anggota-anggota parlemen pembangkang mengecam praktik "wewenang pribadi" Abdallahi dan menganggap kepala negara itu telah "mengecewakan harapan rakyat Mauritania", kata seorang jurubicara. Presiden Mauritania itu bulan lalu mengancam membubarkan parlemen setelah para wakil rakyat mengajukan mosi tidak percaya terhadap pemerintah barunya, yang kemudian mengundurkan diri. Belum lama ini mereka berusaha mengadakan sidang khusus parlemen untuk membentuk sebuah komisi yang akan menyelidiki tanggapan negara atas beaya hidup yang terus meningkat, dan juga pendanaan sebuah yayasan yang dikelola istri presiden. Negara itu mengimpor lebih dari 70 persen kebutuhan pangannya dan kini dilanda krisis pangan. Sementara itu di markas PBB, Sekretaris Jendral Ban Ki-moon menyatakan, ia sangat menyesalkan penggulingan pemerintah Mauritania dan mendesak pemulihan tatanan konstitusi. Komisi Eropa mengatakan, kudeta militer itu membahayakan kemajuan demokrasi yang dicapai negara Afrika Barat tersebut dalam beberapa tahun terakhir ini. Kudeta itu juga membahayakan bantuan tambahan 156 juta euro (241 juta dolar) untuk tahun 2008-2013 yang telah disepakati dengan pemerintah Mauritania, kata Komisaris Bantuan Kemanusiaan Uni Eropa Louis Michel. (*)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008