"Isi perundingan RCEP mungkin diselesaikan pada November 2019. Secara keseluruhan, RCEP menjadi legitimasi pasar bebas, diharapkan tidak membuat semakin lunaknya posisi buruh, harus bicara melindungi hak buruh," Ketua Umum KPR, Herman Abdurrahman di Jakarta, Jumat.
Ia mengaku khawatir perundingan RCEP membuat kerentanan bagi nasib buruh karena sedemikian mudahnya investasi asing berpindah hanya untuk kepentingan perdagangan global, dan dalam prosesnya tidak mempertimbangkan buruhnya.
Selama ini, menurut dia, investor selaku pihak yang meminta tenaga kerja selalu mendapatkan keuntungan, sementara penawaran tenaga kerja (buruh) berada pada posisi lemah akibat ketidakpastian hukum.
"Buruh selaku penggerak roda perindustrian harus diberikan perlindungan dan upah yang layak," ucapnya.
RCEP melingkupi 10 negara ASEAN yakni Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, serta enam negara mitra dagang ASEAN yakni China, India, Jepang, Australia, Korea Selatan dan Selandia Baru.
Dalam RCEP, negara-negara anggotanya memangkas tarif ekspor dan impor, serta menyelaraskan regulasi nasional dengan aturan perdagangan bebas internasional.
Terkait upah, Herman mengatakan, besaran upah minimum provinsi (UMP) untuk buruh masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
Dalam aturan itu disebutkan, peningkatan nilai UMP berdasarkan formula penambahan dari pertumbuhan ekonomi nasional (PDB) dan data inflasi nasional. Penentuan UMP dinilai tidak berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL), tapi inflasi tahunan.
"PP nomor 78 itu baik untuk pengusaha, tapi tidak untuk buruh. Yang kita mau hanya satu yakni solusi konsepsi upah yang layak secara ekonomi untuk buruh," katanya.
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2019