IPK ini akan secara spesifik mengukur capaian pembangunan kebudayaan di tingkat nasional dan daerahJakarta (ANTARA) - Lahirnya UU No.5 Tahun 2017 tentang UU Pemajuan Kebudayaan merupakan wujud konkret perhatian pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla (JK) terhadap kebudayaan nasional sekaligus menjadi pemandu arah bagi pembangunan nasional.
Penyusunan UU Pemajuan Kebudayaan ini sebenarnya sudah lama, sudah direncanakan pada tahun 1982 dengan judul RUU Kebudayaan.
Setelah RUU mandek bertahun-tahun, di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy bersama Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid barulah UU Pemajuan Kebudayaan disahkan pada 27 April 2017.
Sejak adanya legislasi bidang pemajuan kebudayaan tersebut, arah pembangunan kebudayaan semakin jelas, dia tak lagi diposisikan sebagai bidang pinggiran. Kebudayaan secara pelan tapi pasti akan menjadi pusat pembangunan Indonesia.
Dengan adanya UU Pemajuan Kebudayaan itu pula, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kebudayaan yang akan dikelola oleh pemerintah daerah. Hal itu menjadi sesuatu bentuk perhatian yang mungkin tidak besar tetapi menjadi komitmen penting pemerintah dalam mengurusi kebudayaan.
Kongres Kebudayaan Indonesia 2018 pun menjadi kongres kebudayaan yang jauh berbeda dibandingkan kongres-kongres sebelumnya. Kongres kebudayaan ke-100 tahun yang berlangsung dari 5-9 Desember 2019 itu berhasil menghasilkan "Strategi Kebudayaan Indonesia" dan "Resolusi Kebudayaan Indonesia".
Hilmar Farid mengatakan Strategi Kebudayaan Indonesia itu disusun atas rumusan masalah kebudayaan yang terjadi dari tingkat kabupaten/kota. Rumusan itu kemudian disebut Pokok-Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah.
Starategi Kebudayaan tersebut menjadi program nasional untuk 20 tahun ke depan dalam membangun kebudayaan Indonesia. Ada tujuh agenda strategis yang dihasilkan dalam kegiatan tersebut.
Pertama, menyediakan ruang bagi keragaman ekspresi budaya dan mendorong interaksi budaya untuk memperkuat kebudayaan yang inklusif.
Kedua, melindungi dan mengembangkan nilai, ekspresi, dan praktik kebudayaan tradisional untuk memperkaya kebudayaan nasional.
Ketiga, mengembangkan dan memanfaatkan kekayaan budaya untuk memperkuat kedudukan Indonesia di Dunia Internasional.
Keempat, memanfaatkan objek pemajuan kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kelima, memajukan kebudayaan yang melindungi keanekaragaman hayati dan memperkuat ekosistem.
Keenam, reformasi kelembagaan dan penganggaran kebudayaan untuk mendukung agenda pemajuan kebudayaan.
Terakhir ketujuh, meningkatkan peran pemerintah sebagai fasilitator pemajuan kebudayaan.
Salah satu kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan agenda strategi tersebut adalah Pekan Kebudayaan Nasional yang baru saja berlangsung pada 7-13 Oktober.Dengan mengusung visi Indonesia Bahagia, Pekan Kebudayaan menjadi ruang inklusi untuk membangun kebudayaan dan mempererat persatuan bangsa.
Sementara itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir berpendapat saat ini kebudayaan Indonesia sedang mengalami tantangan seperti adanya pengerasan identitas primordial dan sentimen sektarian yang mengancam sendi-sendi budaya masyarakat.
Tak hanya itu khazanah budaya tradisi Indonesia juga menghadapi tantangan serius dalam gelombang modernitas dan disrupsi teknologi informatika.
Pertukaran budaya yang timpang dalam tatanan global juga menjadikan Indonesia masih sebagai konsumen budaya dunia.
Indonesia juga belum mengusahakan paradigma alternatif yang meninggalkan paradigma pembangunan yang merusak lingkungan dan berpengaruh negatif terhadap kebudayaan lokal.
Baca juga: Kemendikbud: Jalan kebudayaan salah satu cara entaskan masalah Papua
Indeks Pembangunan Kebudayaan
Pada 2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan Indeks Pembangunan Kebudayaan pertama di dunia, instrumen ini disusun bersama antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Indeks ini akan secara spesifik mengukur capaian pembangunan kebudayaan di tingkat nasional dan daerah. Dengan adanya IPK tersebut diharapkan sinergi program lintas kementerian dan lembaga akan semakin kuat dan terpola lebih baik.
Penyusunan Indeks Pembangunan Kebudayaan mengacu pada kerangka pengukuran kebudayaan yang disusun UNESCO yaitu Culture Development Indicators (CDIs) serta menyesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan pembangunan kebudayaan di tingkat nasional dan daerah.
Terdapat 31 indikator penyusun indeks tersebut yang dirangkum dalam tujuh dimensi pengukuran, di antaranya: Ekonomi Budaya, Pendidikan, Ketahanan Sosial Budaya, Warisan Budaya, Ekspresi Budaya, Budaya Literasi, dan Gender.
Adapun metodologi dan sumber data dikembangkan untuk menghitung angka Indeks Pembangunan Kebudayaan secara nasional dari 34 provinsi di Indonesia.
Untuk pertama ini BPS menggunakan data 2018, secara nasional IPK bernilai 53,74. Capaian tertinggi diperoleh dari dimensi Ketahanan Sosial Budaya dengan indeks sebesar 72,84. Diikuti dengan dimensi Pendidikan sebesar 69,67. Sementara itu, Dimensi Ekonomi Budaya menempati skor terbawah dengan nilai indeks sebesar 30,55.
Dengan nilai tersebut maka pembangunan kebudayaan Indonesia masih dalam status menengah ke bawah dan masih perlu upaya-upaya untuk menuju nilai yang baik.
Terdapat 13 provinsi di Indonesia yang memiliki nilai IPK di atas angka nasional. Di antaranya Daerah Istimewa Yogyakarta (73,79), Bali (65,39), Jawa Tengah (60,05), Bengkulu (59,95), Nusa Tenggara Barat (59,92), Kepulauan Riau (58,83), Riau (57,47).
Kemudian Jawa Timur (56,66), Sulawesi Utara (56,02), Daerah Khusus Ibukota Jakarta (54,67), Bangka Belitung (54,37), Lampung (54,33), dan Kalimantan Selatan (53,79).
Inisiatif Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam mewadahi kegiatan budaya secara lebih sistematis adalah Indonesiana. Melalui Indonesiana, festival-festival kebudayaan akan dikelola secara gotong-royong bersama pemerintah pusat, daerah, komunitas, masyarakat dan swasta.
Melalui Indonesiana banyak festival lokal berskala nasional dan internasional digelar, seperti festival "Gamelan Homecoming" yang digelar pada 2018 di Solo yang mengusung ide Solo sebagai kampung halaman bagi seluruh seniman gamelan di dunia.
Kemudian "Festival Multatuli" di Lebak, Banten pada 2018, yang mengusung narasi Max Havelaar sebagai bagian jati diri masyarakat Lebak, Festival Sindoro-Sumbing di Temanggung dan Wonosobo pada 2019 yang mengangkat tema upaya-upaya masyarakat sekitar gunung Sindoro-Sumbing untuk melestarikan lingkungannya melalui seni dan budaya.
Melalui Indonesiana masyarakat Desa Rakalaba, Ngada, NTT juga berhasil menghidupkan kembali permainan tradisional yang telah mati suri selama 40 tahun dalam Festival Inere yang digelar 2019. Salah satunya permainan Jedhi Leke.
Melalui wadah tersebut, pemerintah Indonesia berhasil menghidupkan lagi ruang-ruang kebudayaan Indonesia yang selama ini lama ditinggalkan.
Baca juga: Taman budaya se-Indonesia meriahkan Pekan Kebudayaan Nasional 2019
Pendidikan Karakter
Salah satu yang paling ikonik dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Kerja, kaat Muhadjir Effendy adalah gerakan pendidikan karakter sebagai fondasi dan ruh utama pendidikan.
Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter yang digulirkan sejak 2016 itu mendorong agar pendidikan nasional kembali memperhatikan olah hati (etik dan spiritual), olah rasa (estetik) dan olahraga (kinestetik).
Kebudayaan bagi Muhadjir bukan cuma perkara tarian atau musik semata, tapi jauh dari itu, budaya adalah tempat lahirnya budi pekerti yang menjadi karakter suatu bangsa.
Dalam beberapa kali kesempatan berbicara di depan umum, Muhadjir menyampaikan landasan historis mengapa pendidikan karakter sangat dibutuhkan dalam sistem pendidikan nasional. Salah satunya karena sekolah-sekolah di Indonesia selama ini hanya fokus kepada kemampuan baca, tulis dan hitung, sehingga melupakan aspek lainnya.
Masih berkutatnya sekolah-sekolah pada kemampuan baca, tulis dan hitung, menurut Muhadjir karena setelah masa kemerdekaan, fokus pendidikan dasar adalah pemberantasan buta huruf.
Hal itu berimplikasi pada bentuk sekolah dan cara guru mengajar yang sangat kaku di Indonesia, sehingga bantuan-bantuan yang diberikan pemerintah hanya berkisar pada pembangunan sekolah dan penambahan ruang kelas.
Pendidikan karakter sebenarnya bukanlah hal yang baru, pendidikan karakter sudah dicetuskan oleh pendiri Bapak Pendidikan Nasional sekaligus pendiri Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara.
Menurut Muhadjir, dalam pendidikan karakter seni dan budaya seharusnya menjadi arus utama pendidikan. Pemikiran ini sebenarnya sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara.
Melalui pendidikan seni dan budaya yang terasah tidak hanya estetika saja, tetapi juga kehalusan budi anak. Sikap anak dalam merespons situasi akan menjadi perilaku positif yang mencerminkan keluhuran budinya. Ia percaya dengan pendidikan karakter dapat membawa Indonesia menjadi negara maju dan hebat.
Untuk menjadikan seni dan budaya sebagai arus utama pendidikan memang tidak mudah, pemerintah harus mengubah pola pikir sekolah, tenaga pendidik bahkan orang tua agar tidak haya fokus mendidik siswa hanya pada bidang baca, tulis dan hitung. Karena itu tak heran, awal dicetuskannya Penguatan Pendidikan Karakter tersebut banyak pihak yang skeptis.
Kebudayaan menurut Muhadjir, terdiri dari dua dimensi yang dipertemukan. Kebudayaan lahir dari hubungan dialektik antara alam kesadaran dengan alam nyata, STEAM (Science, Technology, Engineering, Art and Math) menjadi jembatan atau media dari alam kesadaran tersebut.
Pendekatan kebudayaan melalui STEAM telah dilakukan bangsa Indonesia sejak dahulu, terbukti dengan situs-situs yang ada seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan dan lainnya.
Namun sayang, kini pembangunan kebudayaan seakan berjarak dengan STEAM itu. STEAM seharusnya dapat kembali menjadi landasan dalam pembangunan kebudayaan.
Baca juga: Kemendikbud: PKN akan diperluas di tingkat daerah
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019