Jakarta (ANTARA News) - Bagaimana bisa konsumen pemakai energi listrik baik pribadi atau perusahaan swasta yang setia dan patuh melaksanakan kewajiban membayar, biasanya sudah terbujet dalam perusahaan tiba-tiba harus mengurangi serta menata ulang karena kurangnya pasokan listrik.Bagaimana bisa dunia usaha swasta yang seharusnya mendapat jaminan pasokan listrik, tiba-tiba harus mengubah jam kerja menjadi hari Sabtu dan Minggu tanpa memberikan upah lembur? mal-mal dan pertokoan harus mengurangi/membatasi energi listrik pada jam-jam tertentu, sungguh mengherankan. Pengusaha tidak pernah menghamburkan energi listrik tanpa perhitungan yang matang serta tidak ada revenue yang memadai. Mengubah perilaku dan budaya serta beberapa aturan, banyak dampaknya atas keputusan SKB Menteri tersebut.Sungguh aneh pemerintah membatasi demand tidak untuk pemakaian listrik, karena ketersediaan listrik yang tidak memadai suplai mutlak harus menyesuaikan demand atau setidaknya memperkecil spread-nya, penjungkirbalikkan teori ekonomi dalam penyediaan energi listrik membingungkan pelaku usaha serta investor (asing) yang terlanjur menanamkan investasi ke Indonesia. Bagaimana kinerja PT PLN dalam mengelola dan menyediakan energi listrik ? Dr Toufiqurahman Syahuri, sebagai ahli hukum ketatanegaraan menyatakan bahwa : SKB Menteri "tidak ada kekuatan hukumnya ", seharusnya berformat "Peraturan Menteri Bersama", sepanjang ada aturan di atasnya Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang yang mendelegasikan maka dapat dibenarkan.SKB Lima menteri mengatur kebijakan dan pengaturan energi listrik untuk menjaga sustainable dan keberlangsungan pasokan listrik kepada pengusaha swasta dan industri, anehnya lagi akan memberikan sangsi bagi pengusaha yang tidak menepati atau menyesuaikan SKB itu. Bagaimana mengubah jam kerja menjadi hari Sabtu dan Minggu pasti banyak kendalanya. Bagaimana dengan aturan ketenagakerjaan serta persetujuan pemda setempat. Dalam aturan tentang lembur maka harus mendapat persetujuan pemda setempat , juga melihat Surat Kesepakatan Bersama antara pengusaha dan karyawan, diatur lebih rinci tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak, antara lain pengaturan jam kerja dan upah lembur. Tidak mungkin pengusaha dengan mudahnya mengubah jam kerja tanpa ada biaya tambahan untuk lembur. Fasilitas perbankan, pengurusan dokumen ekspor, perubahan L/C, serta mengatur kembali jadwal ekspor, fasilitas penunjang untuk pengriman barang, sangat komplek dampaknya kepada pengusaha yang ujung-ujungnya akan menambah biaya menjadi tinggi, dan konsumen yang akan menanggung biaya. Ketidak mampuan pengelola dan penyelenggara energi listrik (PT PLN) berakibat langsung pada dunia usaha, sungguh aneh dunia usaha yang seharusnya dijamin pasokkan dan ketersediaan listrik , justru harus mengatur serta membatasi pemakaian listrik.Tidak mungkin swasta/dunia usaha melakukan pemborosan energi listrik dengan tidak diperhitungkan Perlu audit energi listrik/PLN oleh Badan Independen, yang lingkupnya memeriksa : pemakaian listrik oleh departemen, Perusahaan milik Pemerintah, berapa out standing serta pemborosan yang dipakai untuk energi listrik. Hal ini perlu karena sangat lucu dan aneh, Indonesia memerlukan banyak investor asing tetapi pemerintah tidak menjamin ketersediaan energi listrik , sungguh sayang. "Beleid regel"SKB lima menteri jika tidak diatur oleh aturan diatasnya, maka bisa digolongkan “belid regel” atau kebijakan menteri, jika tidak sesuai atau dirasakan banyak merugikan para pelaku usaha, maka bisa dilakukan keabsahan atas SKB tersebut melalui PTUN ( Pengadilan Tata Usaha Negara ). Jika SKB Menteri berupa Peraturan Menteri, maka pelaku usaha atau asosiasi pengusaha, pengusaha dapat melakukan "judicial review" ke Mahkamah Konstitusi.Seharusnya pemerintah tidak langsung membuat kebijakan yang selalu berubah, hal ini akan sangat merugikan iklim investasi di Indonesia, perlu kiranya pemerintah berkonsentrasi untuk memonitor kinerja PLN, dengan kegagalan pengelolaan dan mengadadakan energi listrik di Indonesia.Pada akhirnya pemerintah yang menanggung kejelekkan kinerja pemerintah, setidaknya PLN diberikan target tertentu sampai mengklarifikasi tunggakan PLN di Departemen-departemen, serta perusahaan BUMN/BUMD milik pemerintah secara lengkap dan transparan, serta perencanaan kedepan secara berkesinambungan, agar tidak menjadi beban bagi pemerintah.(*) *Penulis adalah peneliti pada LPSH-HILC, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sahid, Jakarta.

Oleh Oleh St Laksanto Utomo
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008