Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan surat edaran Kejaksaan Agung (Kejagung) tertanggal 16 Juli 2008, telah meringankan hukuman untuk pembalak liar.Sanksi yang diterapkan diprioritaskan menggunakan UU Kehutanan dibandingkan UU Korupsi, kata Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, di Jakarta, Selasa."Keluarnya surat edaran sangat berbahaya bagi pemberantasan korupsi pembalakan liar," katanya.Surat edaran tersebut perihal Penanganan Perkara di Bidang Kehutanan yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi, dengan tanda tangan Jaksa Agung, Hendarman Supandji.Ia menyebutkan UU Kehutanan sendiri lemah dalam menangani perkara pembalakan liar seperti dalam Pasal 78 dan Pasal 80 UU tersebut.Di dalam Pasal 80 UU Kehutanan itu, kata dia, hanya disebutkan sanksi administrasi dan denda saja bagi pelaku pembalakan liar, sedangkan Pasal 78 menyebutkan besaran denda. "Berarti dapat dikatakan jika izin untuk menebang pohon 10 hektare, namun si pengusaha menebang di areal 100 hektare, maka hanya dikenai sanksi administrasi dan denda saja karena menggunakan UU Kehutanan," katanya. Dikatakannya, Mahkamah Agung (MA) sendiri sudah meletakkan dasar bahwa UU Kehutanan tidak bersifat "lex spesialis" dibanding UU Korupsi. "Karena itu, Kejagung harus mencabut surat edaran itu," katanya. Jika tidak dicabut, kata dia, tindakan itu bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi di sektor kehutanan, terlebih lagi selama ini hambatan penegakan hukum di sektor kehutanan akibat lemahnya UU Kehutanan. Berdasarkan data ICW sepanjang 2005-2008, dari 205 terdakwa kasus pembalakan liar yang divonis bebas oleh pengadilan 66,83 persen. "Penyebab utamanya karena lemahnya UU Kehutanan, hakim seringkali bilang dalam putusannya, bahwa tindakan pembalakan liar hanya dapat dikenakan sanksi administratif, karena UU Kehutanan (Pasal 80) mengatur demikian," katanya. Surat edaran itu menyebutkan UU Korupsi tidak bersifat multiguna (multi-purpose), kemudian UU Kehutanan mengatur dengan tegas tentang ketentuan pidana dan pengembalian kerugian negara terhadap pelanggaran di bidang kehutanan mengenai tuntutan ganti rugi terhadap kerusakan lahan. Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, BD Nainggolan, menyatakan di dalam penggunaan UU Kehutanan dan UU Korupsi itu, disesuaikan dengan kasusnya. "Kalau kasusnya berkaitan dengan pembalakan liar maka diterapkan dengan UU Kehutanan, sedangkan kalau kasusnya seperti perusahaan yang tidak membayar kewajibannya, maka bisa dikenai UU Korupsi," katanya.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008