Kegiatan tersebut tentu bukan tak lazim dilakukan, namun, pertemuan tersebut dilakukan Ozlem dengan 300 yang telah mengirimkan surat berisi ujaran-ujaran kebencian, bahkan ancaman terhadap dia dan keluarganya.
Dalam acara diskusi panel bertajuk ‘Secangkir Kopi, Secercah Toleransi untuk Empati’ yang digelar di Jakarta, Rabu, dia menjelaskan bahwa gerakan #DialogueCoffee itu dimulai pada tahun 2010 saat ia masih menjabat sebagai anggota parlemen Denmark dari Socialist People’s Party.
Baca juga: Budaya dialog dianggap jadi bagian penting dari demokrasi
Ozlem merupakan salah satu anggota parlemen wanita Denmark pertama dengan latar belakang imigran Muslim.
“Tak semua orang senang dengan latar belakang saya sebagai bagian dari minoritas. Banyak dari kebencian tersebut mempertanyakan ‘Apa yang dilakukan orang seperti kamu di parlemen kami?’” katanya.
Begitu banyak kebencian yang dia terima, baik melalui e-mail atau surat yang ditujukan langsung ke alamat rumahnya, hingga salah seorang temannya menyarankan Ozlem untuk mengunjungi para pengirim ujaran kebencian itu.
Setelah melewati berbagai keraguan, dia pun menghubungi seorang pria, yang paling banyak mengirim perkataan yang berisi kebencian, melalui sambungan telepon.
Beberapa hari kemudian Ozlem tiba di depan rumah pria tersebut dengan berbagai prasangka dan perkiraan. “Saya tak akan melupakan saat dia membuka pintu dan menjabat tangan saya. Saya sangat kecewa karena dia tidak terlihat seperti seseorang yang jahat, seperti apa yang ada di benak saya,” kenangnya.
Baca juga: PM Denmark akui kekalahan dalam pemilihan parlemen
Ozlem pun mengatakan mereka bercakap-cakap selama dua setengah jam di rumah pria tersebut dan menyadari bahwa ada banyak kesamaan antara dirinya dengan pria bernama Ingolf itu. “Bahkan kami memiliki beberapa prasangka (prejudices) yang sama,” jelasnya.
Usai pertemuan tersebut, berbagai perasaan muncul dalam dirinya. Di satu sisi, dia sangat menyukai Ingolf dan menganggap orang tersebut sangat menyenangkan untuk diajak bercakap-cakap. Di sisi lain, dia sulit menerima kenyataan bahwa dia memiliki banyak kesamaan dengan seseorang yang dianggap begitu rasis.
Pada saat itu dia pun menyadari bahwa dia sendiri tak luput dari prasangka buruk atas orang lain yang memiliki pandangan berbeda darinya.
“Bukan berarti apa yang mereka lakukan itu dapat diterima begitu saja, namun saya belajar untuk memisahkan mereka dari pandangan yang penuh kebencian. Mereka adalah pekerja, suami, istri, orangtua, dan lain sebagainya, sama seperti saya dan Anda,” kata perempuan berdarah Turki itu.
Baca juga: Partai oposisi Denmark unggul dalam pemilihan parlemen
Melalui kegiatan berdialog dengan ditemani secangkir kopi itu, Ozlem menyadari bahwa banyak yang tak menyadari prasangka yang mereka miliki terhadap orang lain atau kelompok lain yang memiliki pandangan berbeda, dan hal tersebut dapat dilawan melalui percakapan dan budaya berdialog.
“Dahulu saya membenci kelompok-kelompok tertentu karena pandangan agama saya sangat ekstrem, namun persahabatan saya dengan orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda telah menjadi vaksin bagi prasangka saya sendiri,” ujarnya.
Kini, Ozlem yang tak lagi menjabat sebagai anggota parlemen, menghabiskan hari-harinya untuk mempromosikan budaya berdialog sebagai senjata melawan kebencian dan memperkaya pengetahuan akan sudut pandang yang beragam.
Pewarta: Aria Cindyara
Editor: Mohamad Anthoni
Copyright © ANTARA 2019