Jakarta (ANTARA) - Psikolog klinis yang praktik di Rumah Sakit Fatmawati Widya Shintia Sari, M.Psi mengatakan munculnya fenomena "crosshijaber" dapat mengarah pada gangguan psikologis, namun untuk memastikannya perlu pemeriksaan.
"Pelaku memang mengalami ketidaknyamanan atas identitas seksualnya, dan lebih feel comfort kalau mengadopsi ciri gender yang berlawanan," kata Widya kepada ANTARA di Jakarta, Rabu.
Komunitas "crosshijaber" adalah kumpulan para pria yang bisa dianggap memiliki kelainan yang senang berpenampilan layaknya perempuan dengan mengenakan hijab bergaya syar'i lengkap dengan cadarnya.
Menurut Widya, ada sejumlah faktor psikologis yang bisa berpotensi menyebabkan munculnya "crosshijaber" yakni masa lalu yang traumatis.
Pelaku juga bisa menjadi "crosshijaber" karena memiliki pengalaman akan akibat dari ketidakseimbangan peran gender yang membuat pelaku crosshijaber tidak nyaman mengadopsi karakteristik gender yang sejalan dengan jenis kelaminnya.
Widya juga mengatakan perlu diperiksa jika pelaku "crosshijabers" memiliki riwayat diagnosis gangguan psikologis terdahulu.
Sebelumnya, baru-baru ini media sosial di Indonesia dihebohkan dengan adanya komunitas "crosshijaber", yakni kumpulan para pria yang senang berpenampilan layaknya perempuan dengan mengenakan hijab bergaya syar'i lengkap dengan cadarnya.
Para crosshijaber tersebut bahkan memiliki komunitas di sejumlah media sosial seperti Facebook dan Instagram, bahkan mereka seolah ingin mengukuhkan keberadaannya dengan membuat tanda pagar crosshijaber meski kini banyak unggahan yang dihapus. ***3***
Baca juga: Pakar kejiwaan: Diperlukan pemeriksaan individu bagi "crosshijaber"
Baca juga: MUIMI: Crosshijaber berpotensi penyimpangan orientasi seksual
Baca juga: Kemarin, Sulli mantan f(x) meninggal hingga "crosshijaber"
Baca juga: Viral soal "crosshijaber", apakah itu?
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Tunggul Susilo
Copyright © ANTARA 2019