Nusa Dua, Bali (ANTARA) - Kegiatan "International Communication Association (ICA) 2019" membahas perkembangan pesat teknologi digital khususnya kemajuan teknologi "artificial intelligence, big data, dan internet of things" yang kian pesat dan memunculkan masyarakat 5.0 (Society 5.0). namun pada saat yang sama melahirkan kegagapan masyarakat dunia terhadap pengaruhnya yang luar biasa.
"Kemunculan Society 5.0 memang merupakan implikasi dari perkembangan pesat revolusi industri 4.0 yang telah mengubah tatanan industri konvensional ke digital secara eksponensial," kata Ketua Steering Committee ICA Regional Conference 2019, Dr. Dorien Kartikawangi di BNDCC Nusa Dua, Bali, Rabu.
Ia mengatakan konferensi komunikasi internasional mengusung tema "Searching for the Next Level of Human Communication: Human, Social, and Neuro (Society 5.0)", dan akan membahas sejauh mana tantangan, risiko dan peluang yang muncul bisa disikapi dengan baik oleh masyarakat dunia, tidak saja di negara-negara barat, tetapi juga masyarakat di belahan timur dunia.
Kartikawangi mengatakan tidak saja mengubah apa yang normal menjadi baru, tetapi juga mengubah sikap masyarakat. Kondisi ini memunculkan kegagapan pada masyarakat dunia terhadap kondisi tersebut, khususnya pertanyaan ke mana arah masyarakat kita ini di masa depan.
Dikatakan pengaruhnya yang luar biasa sudah terlihat dan dirasakan di tengah-tengah kehidupan masyarakat, baik positif maupun negatif. Mulai dari perubahan cepat di sektor pendidikan, ekonomi, komunikasi, bisnis, dan dunia medis hingga sektor transportasi.
"Namun pada saat yang sama sisi negatif juga membayangi dengan amat kuat. Contohnya keberadaan bioteknologi yang melanggar etika, Artificial Intelligence (AI) menyebabkan kehilangan pekerjaan, Sosmed yang menyebabkan cyber bullying dan berita-berita menghasut, bahkan organisasi bisa mati karena gagal beradaptasi, dan meluasnya cybercrime di dunia," ujarnya.
Menurut dia, konferensi ini penting untuk diketahui bersama, mengingat globalisasi selain menghubung dan mendekatkan kalangan masyarakat di berbagai belahan dunia, namun juga melahirkan ketidakpastian yang besar. Bagaimana masyarakat menyikapinya secara sehat dan tentunya bentuk-bentuk kerja sama (collaboration) dan pemberdayaan (empowering) apa saja yang bisa mendukung ketahanan masyarakat dunia tersebut melewati turbolance yang ada.
Sementara itu, Ketua Panitia Pelaksana Konferensi komunikasi internasional, Loina Paranginangin MSi mengatakan konferensi tersebut menghadirkan pembicara dari para pakar komunikasi internasional, antara lain Amerika Serikat, Eropa (Jerman dan Belanda), China, Jepang, Korea, Australia, Filipina, Singapura, Thailand serta negara ASEAN lainnya, dan Indonesia selaku tuan rumah.
"Jumlah peserta yang hadir tercatat sebanyak 250 orang, terdiri dari para akademisi, peneliti dan praktisi public relations serta pebisnis dari berbagai negara," kata Loina.
Adapun pembicara asing antara lain, Prof. Terry Flew yang juga President of ICA Queensland University of Technology , Australia, Prof. Peter Monge dari University of Southern California, Prof. Janet Fulk - University of Southern California (keduanya dari USA), dan Prof. Martin Loéffelholz – Technische Universitas Ilmenau, Jerman.
Dari Asia menghadirkan Rowena Capulong Reyes, PhD – PACE, Philippines, Prof. Jantima Kheokao – ANPOR, Thailand dan Prof. Changfen Chen – APCA, China. Sementara dari Indonesia sendiri, selain pakar komunikasi juga sejumlah praktisi public relations dan pemimpin perusahaan tampil sebagai pembicara.
Kegiatan selama tiga hari Jumat (18/10) terbagi dalam tiga agenda utama, yaitu seminar dan kuliah ahli, serta presentasi hasil penelitian dari peserta. Seminar di hari pertama membahas "Transformational Era: Anticipating Society 5.0 for Sustainability", sedangkan seminar di hari kedua mengulas tentang "Networking in the Era of Transformation Toward Society 5.0".
Pewarta: I Komang Suparta
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019