Jakarta, (ANTARA News) - Organisasi Pedagangan Dunia (WTO) adalah badan antar-pemerintah yang merupakan metamorfosis dari Perjanjian Umum Bea Masuk dan Perdagangan atau GATT (General Agreement on Tariff and Trade) yang disusun sejak tahun 1947. Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia). WTO lahir sejak 1 Januari 1995 dengan berlakunya kesepakatan sistem perdagangan multilateral antar 120 negara anggota. WTO muncul setelah perundingan panjang (September 1986- April 1994) yang disebut Putaran Uruguay berakhir. Perjanjian hasil Putaran Uruguay yang berakhir di Marakesh, Maroko pada April 1994 itu terdiri dari 60 perjanjian, lampiran, dan berbagai keputusan. Perjanjian yang dikenal dengan Marakesh Agreement tersebut terbagi atas enam bagian, perjanjian payung (kesepakatan mengenai pendirian WTO), penjanjian perdagangan barang (goods), jasa (services), dan hak atas kekayaan intelektual, penyelesaian sengketa, serta kajian ulang atas kebijakan dagang Negara-negara anggota (Trade Policy Reviews). Perjanjian dalam sektor perdagangan barang memiliki tiga pilar utama, yaitu akses pasar, pengurangan dukungan domestik, dan pengurangan subsidi. Implementasi kesepakatan tersebut akan ditinjau dalam waktu enam tahun bagi negara maju dan 10 tahun untuk negara berkembang. Untuk sektor jasa, negara anggota WTO menyusun komitmen dan jadwal penerimaan penyedia jasa luar di negaranya. Sejak terbentuknya WTO, berbagai isu baru yang sebelumnya tidak diatur dalam GATT mulai dibahas. Beberapa isu yang muncul kemudian antara lain perjanjian mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual yang terkait dengan perdagangan (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights/TRIPS), Jasa (General Agreement on Trade in Services/GATS), penyelesaian sengketa dan aturan investasi (TRIMs). Seperti organisasi tingkat dunia lainnya, WTO memiliki jadwal pertemuan dengan anggotanya. Konferensi tingkat Menteri (KTM) dua tahun sekali dan yang pertama digelar di Singapura pada 1996. Dalam pertemuan tersebut, bermunculan isu-isu baru yang diusulkan oleh negara maju dan akhirnya dikenal dengan "isu Singapura" seperti kebijakan kompetisi, transparansi dalam proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah, perlindungan terhadap investasi, serta fasilitasi perdagangan. Pada pertemuan tingkat menteri yang kedua di Jenewa tahun 1998, menghasilkan kesepakatan untuk mendorong perdagangan produk-produk elektronik secara global. Sidang tingkat menteri negara anggota WTO ketiga digelar di Seattle, AS pada 30 November hingga 3 Desember. Sidang tersebut tidak menghasilkan Deklarasi Menteri seperti pertemuan sebelumnya. Demonstrasi massa di luar gedung pertemuan telah menghalangi para delegasi untuk masuk ke Paramount Theater tempat upacara pembukaan konferensi tingkat menteri ke-3 WTO digelar. Aksi tersebut dilakukan oleh dua kelompok massa yang pro dan kontra terhadap liberalisasi perdagangan terutama produk pertanian. Sementara itu, juga muncul perbedaan pandangan yang tajam antara delegasi dari negara-negara berkembang dan negara-negara maju. Negara maju seperti Amerika Serikat dan uni Eropa (UE) dianggap bersikap tidak adil dengan meminta negara berkembang untuk membuka pasar produk pertaniannya. Sementara itu, negara maju tetap tidak mau memotong subsidi pertaniannya. Subsidi pertanian menyebabkan produk dari negara maju lebih murah sehingga produk negara berkembang akan kalah bersaing bahkan di pasar lokalnya. Putaran Doha Pada KTM ke-4 WTO yang digelar pada 9-14 Nopember 2001 dan dihadiri oleh 142 negara anggota dihasilkan Deklarasi Menteri (Deklarasi Doha) yang menandai dimulainya perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif industri, lingkungan, isu-isu implementasi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa dan peraturan WTO. Keputusan-keputusan yang telah dihasilkan KTM ke-4 itu dikenal dengan sebutan ?Agenda Pembangunan Doha? (Doha Development Agenda) mengingat didalamnya termuat isu-isu pembangunan yang menjadi kepentingan negara-negara berkembang paling terbelakang (Least developed countries/LDCs). Beberapa isu pembangunan yang dimaksud antara lain kerangka kerja kegiatan bantuan teknik WTO, program kerja bagi negara-negara terbelakang, dan program kerja untuk mengintegrasikan secara penuh negara-negara kecil ke dalam WTO. Selain itu juga muncul isu mengenai "perlakuan khusus dan berbeda? (special and differential treatment) dari negara berkembang khususnya mengenai perdagangan produk pertanian yang penting bagi perekonomian negara berkembang dan terkait ketahanan pangan serta pembangunan pedesaan. Dalam pertemuan selanjutnya, di Cancun, Mexico pada bulan November 2003, tidak dihasilkan Deklarasi yang rinci dan substantif karena tidak tercapai konsensus antara delegasi terutama mengenai rancangan teks negosiasi sektor pertanian, akses pasar produk non pertanian (NAMA) dan isu Singapore. Perundingan untuk isu pertanian diwarnai dengan munculnya joint paper AS-UE yang menghendaki adanya penurunan tarif yang cukup signifikan di negara berkembang, tetapi tidak menginginkan adanya pengurangan subsidi dan tidak secara tegas memuat komitmen untuk menurunkan tarif tertinggi (tariff peak) di negara maju. Sebaliknya, negara berkembang yang tergabung dalam Group 20 menginginkan adanya penurunan subsidi domestik (domestik support) dan penghapusan subsidi ekspor pertanian di negara-negara maju, sebagaimana dimandatkan dalam Deklarasi Doha. Sementara itu, kelompok negara-negara berkembang lainnya yang tergabung dalam Group 33 (group yang dimotori Indonesia dan Filipina) mengajukan proposal yang menghendaki adanya pengecualian dari penurunan tarif, dan subsidi untuk Special Products (SPs) serta diberlakukannya Special Safeguard Mechanism (SSM) untuk negara-negara berkembang. Setelah gagalnya KTM ke-5 WTO di Cancun, Meksiko itu, Sidang Dewan Umum WTO tanggal 1 Agustus 2004 berhasil menyepakati Keputusan Dewan Umum tentang Program Kerja Doha atau yang sering disebut sebagai Paket Juli. Negara-negara anggota sepakat untuk melanjutkan perundingan putaran Doha dengan kerangka kerja yang jelas terutama untuk isu perundingan pertanian, akses pasar produk non-pertanian (NAMA), isu-isu pembangunan dan impelementasi, jasa, serta fasilitasi perdagangan dan penanganan Singapore issues lainnya. KTM ke-6 WTO selanjutnya digelar di Hong Kong pada Desember 2005 dan menghasilkan Deklarasi Menteri mencakup tiga pilar di bidang pertanian. Pada pilar bantuan domestik (domestic support) disepakati jumlah range angka bagi pemotongan bantuan keseluruhan (overall support) dan bantuan yang mendistorsi perdagangan (AMS). Negara berkembang tanpa komitmen AMS tidak harus mendapatkan pemotongan tarif dan bantuan keseluruhan (overall support). Pada pilar kompetisi ekspor (export competition) disepakati batas waktu penghapusan seluruh bentuk bantuan ekspor (export subsidies). Selain itu, disepakati pendisiplinan State Trading Enterprises (STEs) dan bantuan pangan (food aid). Pada pilar akses pasar (market access) disepakati jumlah kisaran pemotongan tariff serta perincian konsep Special products (SP) dan Special Safeguard Mechanism (SSM). Meski demikian, KTM Hong Kong tidak sepenuhnya berhasil karena akhirnya perundingan putaran Doha dihentikan pada Juli 2006 dan kembali gagal mencapai kesepakatan pada pertemuan di Jenewa, Juli 2008 ini. Pertemuan tingkat menteri ketujuh itu sebenarnya bisa dianggap cukup berhasil bagi negara berkembang mengingat disepakatinya modalitas SP yaitu sebanyak 12 persen dari pos tarif dapat dikecualikan dari penurunan tarif. Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menilai setidaknya 50-60 persen materi draft perundingan yang dibuat pada awal Juli telah mencapai kesepakatan. Hanya satu yang mengganjal, yaitu modalitas untuk SSM. SSM SSM merupakan mekanisme perlindungan produk lokal dari impor produk serupa dengan pengenaan tambahan bea masuk (BM). Isu tersebut menjadi perdebatan keras dalam perundingan antara tujuh negara utama G-7 (Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Brazil, RRC, Australia dan India). Dalam teks perundingan yang ada, persyaratan untuk bisa diterapkannya SSM adalah jika volume impor mengalami kenaikan 40 persen dari total impor dan harga mengalami penurunan. G-33 dan kelompok negara berkembang lainnya seperti African Group menyatakan tidak sepakat dengan persyaratan tersebut karena dianggap tidak berguna untuk melindungi petani di negara berkembang. Kelompok negara berkembang meminta kenaikan volume impor yang menjadi syarat penerapan SSM adalah sekitar 10-15 persen dan tanpa harus menunggu turunnya harga produk lokal di dalam negeri. Dalam negosiasi G-7, India dan China berkeras meminta negara maju dalam kelompok tersebut untuk bersikap luwes dan menerima usulan negara berkembang itu. Sikap AS dinilai tidak mencerminkan konsensus G-7 sebelumnya. "Triger volume impor 40 persen itu terlalu tinggi. Itu berbeda dengan draft teks tanggal 10 Juli. Tapi AS tetap bersikukuh tidak mau lebih fleksibel dalam hal ini,"papar Mari. Menurut Mendag, poin tersebut merupakan hal prinsip yang diperjuangkan negara berkembang untuk melindungi petaninya dari dampak negatif liberalisasi perdagangan. Mari berharap negara-negara anggota WTO tetap menunjukkan komitmen politisnya untuk menyelesaikan perundingan tersebut. "Dalam perundingan 10 hari ini, sudah ada kompromi untuk beberapa hal, kenapa tidak disepakati yang sudah ada dan yang belum, kita lanjutkan September,"ujarnya. Direktur jenderal WTO, Pascal Lamy, meminta para negara anggota untuk tidak menyerah. Ia percaya kesepakatan yang telah dicapai dalam pertemuan terakhir ini layak diperjuangkan bersama. Keputusasaan yang diungkapkan para delegasi usai kegagalan perundingan G-7 mulai pupus. Optimisme kelanjutan perundingan putaran Doha setidaknya tercermin dari pernyataan Presiden Brazil, Luiz Inacio Lula da Silva. Lula mengaku telah melakukan konsultasi dengan AS, China dan India untuk menyelamatkan pembicaraan perdagangan dunia. Lula mengatakan, telah membahas isu itu dengan Presiden AS George W Bush melalui telepon dan akan berbicara dengan mitranya dari China Hu Jintao pekan depan, selama kunjungannya pada acara pembukaan Olimpiade dan akan menelepon Perdana Menteri India, Manmohan Singh. Presiden Brazil itu mengatakan, perjanjian dapat dicapai jika sejumlah perbedaan antara India dengan AS dapat diselesaikan. "Itu akan butuh waktu satu atau dua bulan, tetapi perjanjian merupakan keharusan sebab kami butuh jaminan bagi negara-negara miskin mendapat akses ke pasar negara-negara maju," kata Lula. Bagi negara berkembang, bukan sekedar kesepakatan yang menjadi tujuan utama tapi sebuah sistem perdagangan mutlilateral yang adil.(*)
Oleh Oleh Eko Listiyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008