"Kalau kita sebut sebagai gangguan jiwa tentunya harus diperiksa terlebih dahulu. Kita harus tahu terlebih dahulu motifnya apa, maksudnya apa. Apa hanya sebatas sebuah fenomena komunitas atau mungkin ada modus yang lain," ujar Sekretaris Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa (PDSKJI) itu ketika dihubungi di Jakarta pada Selasa malam.
Menurut dia, memang terdapat istilah transvestisisme untuk merujuk kepada penyimpangan mengenakan busana lawan jenis.
Tapi, menurut dokter Rumah Sakit Islam Jakarta itu, biasanya transvestisisme dilakukan oleh individual bukan kelompok seperti yang viral di media sosial baru-baru ini.
Baca juga: Muhammadiyah: Crosshijaber jangan dibesar-besarkan
Biasanya perilaku transvestisisme dilakukan oleh individu untuk meningkatkan hasrat seksual atau libido dengan berimajinasi memakai busana lawan jenis.
Fenome "crosshijaber" yang viral akhir-akhir ini perlu dinilai lebih lanjut, ujarnya, karena mungkin saja ada motif lain dari kelompok yang melakukan hal tersebut, seperti melakukan tantangan atau malah modus kriminal.
"Pada prinsipnya kalau dari sisi ilmu kedokteran jiwa, kita harus periksa dulu. Kita wawancara dan lihat motifnya apa, kenapa dia bisa bergerombol atau individual," tegasnya.
Baca juga: MUIMI: Crosshijaber berpotensi penyimpangan orientasi seksual
Baru-baru ini, warganet Indonesia dikejutkan oleh adanya komunitas "crosshijaber" yaitu kumpulan pria-pria yang berpenampilan seperti perempuan dengan mengenakan hijab bergaya syar'i yang dilengkapi dengan cadar. Mereka bahkan berani masuk dan bercampur dengan perempuan di masjid atau bahkan di kamar mandi.
Komunitas "crosshijaber" ditemukan di beberapa media sosial seperti Facebook dan Instagram, meski kini banyak unggahan yang sudah dihapus sejak menjadi viral.
Baca juga: Kemarin, Sulli mantan f(x) meninggal hingga "crosshijaber"
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019