Jakarta, (ANTARA News) - Masuk ke wilayah jemaah Annazir, Bontomarannu, di Kabupaten Goa, Sulawesi Selatan (Sulsel), bagai mendatangi sebuah pemukiman di negeri Timur Tengah. Cuma bahasa daerah setempat dan bahasa Indonesia yang digunakan mereka dalam keseharian yang menunjukkan bahwa wilayaan jemaah Annazir masih Indonesia juga. Kawasan di Bontomarannu itu dipenuhi lelaki dan perempuan berpakaian serba gamis, pakaian orang Arab berupa jubah hitam panjang hingga lutut berlengan panjang dengan kopiah mirip warga Siria, Afganistan, atau Pakistan. Di Goa, jemaah Annazir tampil beda dengan umat Muslim pada umumnya. Ciri lain yang menonjol dari mereka yang menyebut diri sebagai jemaah Annazir itu ialah rambut mereka yang gondrong dan dicat bule. Kendati begitu, tak ada kesan urakan seperti anak muda berambut bule di kota besar. Penampilan mereka sederhana. Rambut gondrong tertutup kopiah gaya Arab. Rambut pirang terlihat jelas mana kala mereka tengah turun ke ladang. Sementara bagi kaum perempuan, banyak mengenakan pakaian gamis ditambah penutup muka, cadar. Jadi, orang yang rindu suasana lingkungan relejius warga Arab, bisa datang ke pemukiman jemaah Annazir untuk melepas rindu. Untuk mencapai lokasi pemukiman jemaah Annazir tak sulit. Jarak perkampungan mereka dari Bandara Hasanuddin Makassar cuma sekitar 10 km. Mereka tinggal di perkampungan yang tidak padat penduduknya di sekitar kawasan Danau Mawang, Kecamatan Bontomarannu, dengan kawasan persawahan, di kaki pegunungan Goa. Daerah itu sejuk, air melimpah kendati pada musim kemarau terik matahari terasa menyengat. Di kawasan itu berdiri sejumlah rumah petak panggung setinggi setengah meter terbuat dari kayu, dinding bambu, dan beratap rumbia. Ketika ANTARA mendatangi lokasi tersebut, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bontomarannu Muhidin Dahlan menyebut bahwa ada 130 Kepala Keluarga (KK) atau 500 jiwa warga jemaah Annazir di sana. Dalam satu pemondokan ada tiga hingga empat kamar, masing-masing KK mendapat 1 kamar. Sedangkan bagi anak-anak dewasa (putera-puteri), tinggal terpisah di kawasan Danau Mawang. Di tengah suasana yang dipengaruhi kemajuan teknologi, warga jamaah Annazir tidak menabukan kemajuan tersebut. Sebagian warganya memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, seperti telepon seluler dan beberpa komunikator. Beberapa warga Annazir ada yang memiliki gelar strata dua. "Pimpinannya saja bergelar insinyur," kata Rony Syamsuddin, wartawan senior, yang ikut masuk ke pemondokan Annazir. Menurut pengakuan tokoh masyarakat setempat, Haji Zakir, sebelum jemaah Annazir bermukim di lokasi tersebut, kampung itu merupakan tempat orang sesat berkumpul. Mereka memuja berhala di atas bebatuan. Bahkan ada pula orang mencari ilmu hitam. "Di tempat itu pula sering para perampok berkumpul," kata Zakir. Kehadiran Annazir di sini bukan semata memerangi penyembah berhala. Namun lebih termotivasi untuk menegakkan anjuran Nabi Muhammad SAW membangun ekonomi umat. Kelompok Annazir melepaskan warga dari kemiskinan, kata Ustadz Rangka, yang oleh banyak kalangan dijuluki sebagai panglima Annazir. Julukan "panglima" lebih mengena kepada ustadz berbadan tinggi besar tersebut lantaran ia yang terlahir di kawasan Danau Mawang lebih menguasai situasi setempat. Ketika Baihaki dan rekan-rekannya dari Bimas Islam Depag, Jakarta, bertandang ke lokasi pemondokan tersebut, Rangka secara terbuka mengaku dirinya adalah mantan perampok. Jadi, aku Rangka, para perampok di kawasan itu sedah kenal akan dirinya. Tatkala berdakwah dan merasa dilecehkan, Rangka menawarkan dua pilihan kepada warga setempat. Mau mendengarkan ceramahnya atau berkelahi. "Saya tawarkan, dan saya mau keduanya. Tapi, setelah di atas mimbar dan saya acungkan parang, tak satu pun warga yang kerap melecehkan para ustadz di desanya kini berani menantang," cerita dia. Kesejahteran membaik Annazir masih menjadi bahan pembicaraan hangat, terutama di Makassar dan sekitarnya. Pasalnya, selain dikesankan "nyentrik" mengenakan pakaian Arab di negeri yang kebanyakan sudah terkontiminasi budaya barat,Annazir hidup mengelompok dengan komunitasnya sendiri. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, mereka terbuka dan menerima berdiskusi tentang berbagai kehidupan. Jemaah Annazir di Bontomarannu tak pernah mengganggu kehidupan orang lain. Apa lagi menyangkut ibadah orang lain. Kendati Annazir dikesankan menyebarkan ajaran "miring", mereka bersikukuh bahwa yang dilakukan sekarang ini semata-mata menjalankan perintah agama dengan mempedomani Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. "Kita biasa di sini membawakan zikir Latiful Akbar. Juga shalawat Nabi Muhammad SAW," kata pimpinan Annazir Sulawesi Selatan ustadz Lukman Bakti. Menurut Lukman, warga di sini sudah terbiasa melaksanakan sholat malam. Isya dilakukan pada malam hari, sekitar pukul 03.00 Witeng dilanjutkan dengan berzikir dan membaca shalawat kepada nabi. Tidak ketinggalan bertawasul kepada para Waliallah. "Kita sudah biasa melaksanakan itu semua secara rutin," ia menegaskan. Ketika ditanya bahwa jemaah Annazir hanya melaksanakan sholat yang seharusnya lima waktu namun hanya dilaksanakan tiga waktu, Lukman membantahnya. Menurut dia, penilaian itulah yang kerap dibesar-besarkan dan kemudian pemberitaannya dipelintir sehingga ajaran Annazir dinilai sesat. "Penilaian itu tidak benar," katanya. Soal menjalankan ibadah, ia mengatakan, pada esensinya sama dengan umat Muslim pada umumnya. Hanya dalam soal pelaksanaannya saja yang berbeda. Jemaah Annazir melaksanakan sholat shuhur dimepetkan dengan asyar. Sedangkan magrib berlangsung sebagaimana umat Islam lainnya. Sedangkan isya, juga dimepetkan dengan subuh. Sedangkan waktunya tetap ditaati sebagaimana umat Islam lainnya menjalankan sholat. "Tak ada perbedaan," katanya. Ia mengatakan, semua itu dilakukan sesuai dengan ajaran para guru-guru sebelumnya. Namun Lukman tak mau banyak berdebat soal ini, ia menekankan bahwa umat Islam harus memberikan yang terbaik bagi semua umat di bumi ini. Untuk itulah, dengan bermodalkan lahan sekitar 2 ha berupa sawah dan ladang, kini bertambah menjadi 7 ha. "Kami memperoleh lahan 5 ha dari warga yang dipinjamkan, untuk digarap dan keuntungannya dibagi hasil dengan pemilik," katanya. "Kita pun punya ambisi dapat menggarap lahan pertanian seluas 100 ha," ujar dia. Lahan yang diserahkan tersebut berupa lahan "tidur" tak berproduktif. Kini warga sekitar merasakan manfaat dari kehadiran Annazir di sini, walay sebelumnya mereka tak mengira membuahkan hasil melimpah, kata Lukman. Menurut Lukman, warganya ditekankan untuk menjaga kesehatan dengan cara bekam. Sedangkan bagi anak-anak ikut pendidikan modal "home schooling". "Ini bukan kami menolak program belajar di sekolah umum, tetapi lebih dilandasi karena takut kehadiran anak-anak Annazir mengganggu anak lainnya," kata dia. Karena itu anak-anak di sini memperoleh pelajaran dari para ustadz setempat tanpa mengabaikan materi yang harus dikuasi oleh pemerintah. "Anak-anak di sini bebas buta huruf," ia menegaskan.(*)

Oleh Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008