Jakarta, (ANTARA News) - Pejabat Depnakertrans Taswin Zein, Jumat didakwa telah merugikan negara Rp13,69 miliar dalam proyek pengembangan sistem pelatihan dan pemagangan serta proyek peningkatan fasilitas mesin dan peralatan pelatihan sebagai tempat uji kompetensi pada tahun 2004-2005. Taswin Zein adalah Kasubdit Pengembembangan Sistem dan Inovasi, Direktorat Produktivitas Ditjen Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas (Ditjen Latas) Depnakertrans. Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang perkara itu di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi menyatakan, Taswin melakukan hal itu bersama Sekretaris Ditjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dalam Negeri Depnakertrans, Bachrun Effendi. Menurut Tim JPU yang terdiri dari Chatarina MG, Muhibuddin, dan Afni Carolina, proyek Pengembangan Sistem Pelatihan dan Pemagangan dijalankan dengan menggunakan Anggaran Belanja Tambahan - Daftar Isian Proyek (ABT-DIP) 2004. Sedangkan proyek Peningkatan Fasilitas Mesin dan Peralatan Pelatihan Sebagai Tempat Uji Kompetensi menggunakan Anggaran Belanja Tambahan Daftar Isian Kegiatan Suplemen (ABT-DIKS). JPU menguraikan, Taswin sebagai pimpro Proyek Pengembangan Sistem Pelatihan dan Pemagangan merencanakan penunjukan langsung PT Mulindo Agung Trikarsa dan CV Dareta sebagai rekanan dengan anggaran sebesar Rp15 miliar. Padahal, Taswin mengetahui proyek itu bukan dalam kualifikasi yang dapat dilakukan dengan penunjukkan langsung, seperti diatur dalam Keppres Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. "Untuk memproses formalitas administrasi atau dokumen penunjukan langsung dalam pengadaan tersebut, terdakwa membentuk panitia pengadaan dan panitia penerima barang," ungkap tim JPU dalam surat dakwaan yang dibacakan secara bergantian itu. Menurut JPU, Taswin memerintahkan pencairan pembayaran, meski rekanan belum melaksanakan pengiriman barang, sehingga CV Dareta menerima Rp8,94 miliar dan PT Mulindo Agung Trikasa menerima Rp4,46 miliar. "Pencairan tersebut tidak didasarkan pada bukti serah terima yang sah," kata JPU. Uang yang dicairkan kepada rekanan itu kemudian disisihkan sebagian untuk kepentingan pribadi terdakwa dan Bachrun Effendi. Sedangkan untuk proyek Proyek Peningkatan Fasilitas Mesin dan Peralatan Pelatihan Sebagai Tempat Uji Kompetensi yang bernilai Rp35 miliar, terdakwa menunjuk PT Panton Pauh Putra, PT Mulindo Agung Trikarsa, PT Suryantara Purna Wibawa, dan PT Gita Vidya Hutama sebagai rekanan. Taswin bersama para rekanan bersepakat menyesuaikan tanggal pelaksanaan, sehingga seolah-olah proyek tersebut telah dilakukan sesuai ketentuan Keppres Nomor 30 tahun 2003. Tim JPU menyatakan, Taswin memerintahkan pencairan dana, meski belum ada penyerahan barang dari rekanan. Atas perintah pembayaran itu, PT Panton Pauh Putra menerima Rp6,25 miliar, PT Mulindo Agung Trikarsa memperolah Rp7,6 miliar, PT Suryantara Purna Wibawa mendapat Rp8,49 miliar, dan PT Gita Vidya Hutama mengantongi Rp8,93 miliar. Atas pencairan dana itu, terdakwa menerima Rp897 juta selama Januari 2005 sampai Mei 2005. Menurut Tim JPU, terdakwa telah menguntungkan sejumlah perusahaan dan orang lain, serta memperkaya diri sendiri. Hal itu diperkirakan merugikan negara Rp13,69 miliar. Perbuatan terdakwa dijerat dengan pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam dakwaan kesatu primair. Taswin juga dijerat dengan pasal 3 jo pasal 18 UU yang sama jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 ayat (1) KUHP dalam dakwaan kesatu subsidair. Dalam dakwaan kedua, Taswin diyatakan telah memberikan uang Rp600 juta kepada pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Bagindo Quirinno di Rumah Makan Mbok Berek dan Gedung Wisma Baja, Jakarta Selatan. Pemberian itu ditujukan agar Bagindo mengubah hasil pemeriksaan Proyek Peningkatan Fasilitas Mesin dan Peralatan Untuk Balai Latihan Kerja sesuai keinginan terdakwa. Sebelumnya Bagindo menyatakan telah terjadi penyimpangan dalam proyek tersebut, antara lain dalam hal kemahalan harga dan kelambatan pekerjaan. Perbuatan Taswin itu dijerat dengan pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 ayat (1) KUHP. (*)

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008