Tokyo (ANTARA) - Jumlah warga yang meninggal di Jepang karena Hagibis, topan terburuk sejak berpuluh-puluh tahun lalu, pada Selasa meningkat menjadi 58 orang.

Sementara itu, para petugas masih bekerja keras mengais lumpur dan reruntuhan untuk mencari orang-orang yang hilang. Ribuan rumah masih belum mendapatkan aliran listrik atau air.

Badai tersebut melanda banyak wilayah di Jepang tengah dan timur. Sedikitnya 15 orang hilang dan 211 cedera dalam waktu hampir tiga hari setelah Topan Hagibis menghantam Jepang dengan angin kencang dan hujan deras, menurut laporan stasiun penyiaran NHK.

Hagibis dalam bahasa Filipina, Tagalog, berarti "kecepatan".

Tak lama setelah badai berlalu, sekitar 138 keluarga hidup tanpa air sementara 24.000 lainnya tanpa listrik.

Jumlah korban terbanyak tercatat di Prefektur Fukushima di utara Tokyo. Di wilayah itu, sedikitnya 18 orang kehilangan nyawa, termasuk seorang ibu yang terjebak banjir bersama dua anaknya. Salah satu anaknya pada Senin (14/10) dipastikan meninggal sementara satunya lagi, bocah laki-laki, masih hilang.

Ribuan polisi, petugas pemadam kebakaran dan personel militer terus melakukan pencarian terhadap orang-orang yang kemungkinan terjebak banjir dan longsor karena badai. Namun, harapan memudar --bahwa orang-orang yang hilang akan bisa ditemukan dalam keadaan hidup.

Para penyintas menggambarkan betapa banjir dengan cepat meningkat setinggi dada dalam waktu satu jam, dan sebagian besar pada malam hari. Keadaan itu membuat warga mengalami kesulitan mengungsi ke daratan yang lebih tinggi. Banyak korban meninggal di Fukushima berasal dari kalangan manula, kata NHK.

Kendati ancaman hujan diperkirakan akan mereda pada Selasa, suhu udara kemungkinan akan anjlok di banyak kawasan pada akhir pekan ini dan dalam beberapa kasus akan sangat rendah, kata NHK.

Sumber: Reuters

Baca juga: Kemlu: Tidak ada WNI korban Badai Hagibis
Baca juga: Jepang kirim tentara setelah topan landa Tokyo, 23 orang meninggal
Baca juga: Malaysia keluarkan "travel advisory" ke Jepang

Penerjemah: Tia Mutiasari
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2019