Jakarta (ANTARA) - Laporan terbaru Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang Asia Timur dan Pasifik melambat dari 6,3 persen pada 2018 menjadi 5,8 persen di 2019 serta 5,7 persen dan 5,6 persen masing-masing pada 2020 dan 2021.

Paparan East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2019 yang dirilis Jumat (11/10) menyatakan alasan penurunan proyeksi ini yaitu melemahnya permintaan global dan meningkatnya ketidakpastian perdagangan AS dengan China.

Tingginya tensi perang antara dua negara adidaya yang telah berlangsung selama berbulan-bulan ini telah menyebabkan penurunan kinerja ekspor dan pertumbuhan investasi serta menguji ketahanan ekonomi kawasan.

Oleh karena itu, meningkatnya ketegangan perdagangan dapat menimbulkan ancaman jangka panjang dan mendorong risiko terhadap pertumbuhan di wilayah karena tingkat ketidakpastian semakin tinggi.

Tingkat utang yang tinggi dan meningkat di beberapa negara juga membatasi kemampuan untuk menggunakan kebijakan fiskal dan moneter untuk mengurangi dampak perlambatan ekonomi yang semakin nyata.

Setiap perubahan mendadak dalam kondisi keuangan global juga dapat berdampak pada biaya pinjaman yang lebih tinggi untuk kawasan, mengurangi pertumbuhan kredit dan membebani investasi swasta serta pertumbuhan ekonomi.

Kondisi ini yang membuat Bank Dunia ikut merevisi turun pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,2 persen di 2018 menjadi 5 persen pada 2019 serta masing-masing sebesar 5,1 persen dan 5,2 persen di 2020 dan 2021.

Untuk menghadapi risiko ini, laporan merekomendasikan negara-negara dengan ruang kebijakan yang cukup agar menggunakan langkah-langkah fiskal atau moneter untuk merangsang ekonomi sambil menjaga kesinambungan fiskal dan utang.

Laporan ini juga mengingatkan pentingnya manfaat yang dapat diperoleh negara-negara di kawasan dengan terus mempertahankan keterbukaan perdagangan serta memperdalam integrasi perdagangan regional.

Selain itu, upaya melakukan reformasi, termasuk perubahan regulasi untuk meningkatkan iklim perdagangan maupun investasi, agar produktivitas meningkat dan mendorong pertumbuhan juga perlu dilakukan.


Baca juga: Industri pengolahan perlu perhatian reformasi struktural
Baca juga: Bank Dunia desak reformasi struktural, pertumbuhan global melambat

Direktur Pelaksana baru Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva ikut menegaskan perselisihan perdagangan telah berdampak pada ekonomi global yang secara substansial melemahkan aktivitas manufaktur dan investasi serta menahan potensi ekonomi.

Bagi ekonomi global, efek kumulatif dari konflik perdagangan ini dapat menyebabkan kerugian hingga 700 miliar dolar AS atau sekitar 0,8 persen dari PDB dunia pada 2020 serta menghilangkan kepercayaan dan reaksi pasar.

Ia pun menyerukan adanya "tindakan kebijakan tersinkronisasi" untuk mempercepat pertumbuhan dan membangun ekonomi yang lebih tangguh dengan sejumlah prioritas kebijakan moneter maupun fiskal dan menjalankan reformasi struktural.

Strategi ini berarti menggunakan kebijakan moneter secara bijak dan meningkatkan stabilitas keuangan, menggunakan perangkat fiskal untuk memenuhi tantangan, melaksanakan reformasi struktural untuk pertumbuhan di masa depan, dan merangkul kerja sama internasional.

Instrumen fiskal
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan perekonomian Indonesia saat ini lebih berdaya tahan meski kondisi global sedang diliputi ketidakpastian akibat tingginya tensi perang dagang dan faktor lainnya.

Salah satu penyebabnya adalah struktur penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar Indonesia adalah konsumsi rumah tangga, bukan dari kinerja perdagangan yang selama ini tergantung dari kondisi eksternal.

Meski demikian, ia mengakui, Indonesia harus meraih peluang dari situasi global tersebut dengan mencari investor untuk mendorong kegiatan investasi terutama bagi industri manufaktur berbasis ekspor dan substitusi impor.

Pemerintah telah memperbaiki iklim investasi antara lain dengan membuat sistem layanan elektronik terintegrasi (OSS) agar investor tidak mengalami kesulitan dalam mengurus perizinan berusaha dan memberikan insentif perpajakan bagi pelaku usaha.

Selain itu, pemerintah sudah membangun sarana infrastruktur jalan maupun pembangkit listrik untuk mendukung kegiatan ekonomi hingga ke daerah serta mendorong pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Dalam menghadapi ketidakpastian ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati secara tegas menyatakan akan menggunakan instrumen fiskal yaitu APBN 2020 yang telah disusun sebagai stimulus dan memperkuat fondasi ekonomi agar tidak terdampak tekanan global.

Ia menjelaskan APBN ini penting untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di atas lima persen serta mendukung pencapaian pembangunan seperti pengurangan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja dan perbaikan pemerataan ekonomi.

"Memperkuat fondasi dan daya saing ekonomi melalui perbaikan kualitas SDM, memperkuat institusi, memperkuat industri dengan memberikan insentif fiskal dan memperbaiki kualitas belanja negara agar makin efektif, efisien dan produktif," ujarnya.

Selain itu, pengendalian defisit anggaran pada 2020 diupayakan untuk menjaga kesinambungan fiskal serta memberikan ruang gerak yang lebih besar dalam menghadapi risiko global serta dampaknya kepada perekonomian nasional.

Sri Mulyani menambahkan pemerintah juga akan terus melakukan reformasi struktural dalam sektor riil untuk menghadapi perlemahan ekonomi global yang diproyeksikan cukup menantang dan menghadapi risiko ke bawah pada 2020.

"Reformasi struktural sektor riil ini untuk meningkatkan daya tarik investasi maupun produktivitas dari berbagai pelaku ekonomi untuk mendorong ekspor. Selain itu, terdapat penyederhanaan dan konsistensi regulasi serta kecepatan pelayanan untuk peningkatan investasi," katanya.


Baca juga: CSIS dorong percepatan reformasi struktural tahan perlambatan ekonomi
Baca juga: Menkeu: reformasi struktural untuk dorong pertumbuhan

Pembenahan mendasar
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar Hirawan mengingatkan pentingnya reformasi struktural yang sudah digaungkan pemerintah sejak lama apabila ekonomi Indonesia menghadapi tekanan dari luar.

Namun, saat ini reformasi struktural itu harus didorong lebih cepat untuk meningkatkan produktivitas sumber daya manusia dan memperbaiki kualitas daya saing yang mulai kalah berpacu dengan negara-negara lain.

"Pemerintah sudah memiliki visi yang bagus, khususnya terkait dengan pengembangan sumber daya manusia, tapi realisasinya masih kurang cepat dan masif," imbuh alumni Universitas Indonesia itu.

Untuk itu, perbaikan kondisi tenaga kerja, khususnya di antara negara ASEAN, perlu dilakukan agar daya saing lebih kompetitif, terutama terkait Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dianggap masih kaku dan tidak sesuai situasi terkini.

Fajar menambahkan pembenahan lainnya juga dibutuhkan agar industri pengolahan mampu menghasilkan nilai tambah dan jasa yang berkualitas diiringi dengan upaya mencari pasar baru dari jaringan produksi global.

Reformasi sektor riil lainnya yang diperlukan adalah pembenahan regulasi yang dapat mendorong potensi ekonomi digital serta meningkatkan perkembangan UMKM agar lebih optimal dalam memberikan kontribusi kepada perekonomian nasional.

Pengamat ekonomi Lucky Bayu Purnomo menambahkan revitalisasi industri pengolahan perlu menjadi perhatian pemerintah dalam melanjutkan agenda reformasi struktural untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.

Pembenahan sektor pengolahan ini dapat memberikan manfaat antara lain mendorong pembangunan infrastruktur dan melahirkan industri yang dapat menghasilkan barang bernilai tambah atau hilirisasi yang dibutuhkan untuk ekspor.

"Selama ini kita mengekspor minyak sawit dan tambang yang belum diolah, kalau kita olah bahan itu bisa menghasilkan nilai transaksi yang lebih tinggi, kita juga akan mendapatkan devisa," kata Direktur Eksekutif LBP Institut ini.

Kebijakan ini juga dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat yang pada akhirnya mampu meningkatkan pendapatan, mendorong daya beli konsumen dan secara tidak langsung memberikan pengaruh positif terhadap konsumsi domestik.

Dengan adanya ancaman perlambatan global, bahkan resesi di negara maju maupun berkembang, tidak salah apabila pemerintah menyiapkan mitigasi agar Indonesia tidak terkena dampak negatif dari ketidakpastian geopolitik maupun perang dagang.

Pemerintah sudah berada di jalur yang benar dengan melakukan reformasi struktural untuk memperkuat ketahanan ekonomi, meski dalam kondisi sekarang, hal tersebut harus dilakukan lebih cepat karena negara-negara lain juga melakukan kebijakan yang serupa.


Baca juga: BKPM sebut perlambatan ekonomi global bisa dimanfaatkan
Baca juga: Cegah efek perlambatan ekonomi global, ini yang dilakukan BI

Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019