Semarang (ANTARA News) - Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah belum dapat mengeksekusi denda Rp500 juta mantan ketua DPRD Jateng Mardijo dalam perkara dugaan korupsi APBD Jateng 2003 karena salinan putusan Mahkamah Agung belum diterima.
"Kita belum terima salinan putusan itu. Kejaksaan Negeri Semarang yang menangani kasus itu, katanya juga belum menerima," kata Asisten Pidana Khusus Kejati Jateng, Uung Abdul Syakur, di Semarang, Kamis.
Penjelasan itu disampaikan Uung setelah menerima audiensi dengan Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng yang menanyakan masalah eksekusi tersebut.
Putusan kasasi perkara Mardijo, telah dikeluarkan Mahakamah Agung (MA) sekitar tujuh bulan (21 Januari 2008). Vonis itu baru diterima PN Semarang 14 Mei lalu. Tetapi, sampai sekarang, Kejati mengaku belum menerima salinan putusan kasasi tersebut.
Oleh Mahkamah Agung, Mardijo dinyatakan terbukti bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama anggota DPRD Jateng 1999-2004 secara berlanjut. Ia dijatuhi hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun dan denda Rp500 juta.
Apabila denda tidak dibayar, putusan MA menyebutkan, maka dapat diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan. Adapun uang Rp643,43 juta yang dinikmati Mardijo, sudah dikembalikan yang bersangkutan. Putusan MA menyatakan, barang bukti berupa uang Rp643,43 juta itu sebagai sitaan jaksa atau rampasan negara, dan selanjutnya agar dimasukkan ke kas daerah Provinsi Jawa Tengah.
Dalam kesempatan terpisah, Mardijo juga mengaku belum menerima putusan kasasi tersebut. Mardijo menjelaskan, dirinya masih dapat melakukan upaya hukum peninjauan kembali atau meminta grasi ke Presiden. Namun, langkah itu belum tentu akan dilakukan.
"Saya akan pelajari putusannya dulu. Akan saya konsultasikan juga dengan penasehat hukum tentunya." katanya.
Sementara Humas PN Semarang, Amin Sembiring, menyatakan, belum dapat memberi penjelasan mengenai hal itu. "Harusnya sudah ya. Tapi coba hubungi (Panitera Muda Pidana) Pak Muhiyar." katanya.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008