Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan keluarga-keluarga di Indonesia membutuhkan penanganan spesifik (micro treatment) dan tidak bisa disamaratakan untuk mengatasi akar masalah, meningkatkan kesejahteraan dan mengoptimalkan kapasitas diri .
"Penanganan dalam rangka meningkatkan ketahanan keluarga untuk mewujudkan sumber daya manusia Indonesia (SDM) yang unggul. "Penanganan per keluarga bisa berbeda, tidak bisa disamaratakan," kata Hasto kepada wartawan di sela-sela Seminar Nasional Kesetaraan Gender dan Ketahanan Keluarga Menuju SDM Unggul, Indonesia Maju di Gedung LIPI, Jakarta, Senin.
Penanganan spesifik (micro treatment) dibutuhkan karena tiap keluarga menghadapi masalah yang berbeda sehingga membuat keluarga-keluarga memiliki capaian kemajuan atau tingkat kemiskinan beragam.
Penanganan yang lebih komprehensif tersebut akan dapat dilakukan jika ada data riil dari kondisi keluarga-keluarga di Indonesia, yang dapat diukur dengan Indeks Pembangunan Keluarga (IPK). Instrumen IPK saat ini sedang dalam tahap uji coba untuk kemudian diperbaiki jika memang diperlukan perbaikan. Instrumen IPK ini diharapkan dapat diterapkan pada 2020 secara nasional.
Baca juga: BKKBN akan sasar 63 juta KK ukur indeks pembangunan keluarga
"Kita ini kan treatment (penanganan) kepada masyarakat harus berdasarkan data mikronya di keluarga," ujar Hasto.
Menurut Hasto, ketika pemerintah Indonesia mempunyai indikator baru dalam potret atau profil keluarga melalui pengukuran IPK, maka pemerintah punya diagnosa yang lebih baik terkait akar masalah dalam keluarga yang harus ditangani agar mampu membawa keluarga menjadi lebih baik dan sejahtera.
Dengan demikian hasil pengukuran tersebut akan mengarahkan upaya penanganan yang lebih baik dan lebih tepat sasaran. Data yang dimiliki juga berupa by name by family. Data tersebut juga dapat dikaitkan untuk melihat kondisi kemiskinan di Indonesia.
Hasto menuturkan dengan melakukan pengukuran Indeks Pembangunan Keluarga (IPK), maka dapat diperoleh data riil tentang kondisi dan ketahanan keluarga, sehingga dapat dirancang micro treatment atau langkah-langkah penanganan keluarga secara spesifik dan langsung tepat sasaran karena tiap keluarga memiliki permasalahan yang berbeda-beda sehingga penanganannya juga harus lebih spesifik.
Misalnya, satu keluarga yang terdiri dari tiga anggota, yakni ayah dan anak terkena gangguan jiwa, sedang ibu yang tidak berpendidikan tinggi harus mencari penghasilan dan merawat suami dan anak yang sakit dan tidak bisa bekerja produktif. Maka pemberian bantuan kambing untuk mereka pelihara bukan menjadi solusi yang tepat, katanya.
Dikatakannya justru solusi yang ditawarkan bisa berupa perawatan ke rumah sakit jiwa, kemudian istri atau ibu diberikan pemberdayaan sehingga bisa mengoptimalkan hidupnya. Jika keluarga ini hanya diberikan bantuan pangan saja, maka belum tentu menyelesaikan permasalahan mereka.
Contoh lain adalah satu keluarga memiliki satu orang anak yang tidak dapat bersekolah karena penghasilan ayah dan ibu tidak mencukupi untuk menyekolahkan anak, maka bantuan yang diberikan dapat berupa beasiswa kepada anak agar anak dapat bersekolah.
Untuk itu, Hasto mengatakan penanganan keluarga tidak bisa disamakan antar keluarga yang satu dengan yang lain karena ketahanan dan masalah tiap keluarga berbeda.
Bisa jadi dengan hasil pengukuran IPK, maka dapat merekomendasikan perubahan pola penyaluran bantuan pangan yang mungkin seharusnya tidak bisa disamaratakan. Bisa jadi ternyata bantuan pangan bukanlah solusi yang dibutuhkan oleh satu keluarga tapi dapat menjadi solusi bagi keluarga yang lain.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk miskin Indonesia sebanyak 25,14 juta orang pada Maret 2019. Persentase penduduk miskin di daerah perkotaan sebesar 6,69 persen pada Maret 2019. Sementara itu, persentase penduduk miskin di daerah perdesaan sebesar 12,85 persen pada Maret 2019.
Baca juga: BKKBN uji coba penerapan indeks pembangunan keluarga di 1.000 KK
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019