Semarang (ANTARA News) - Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden memiliki celah yang dapat menyebabkan tahapan pilpres terancam molor sehingga mengancam terjadinya kevakuman jabatan kepala negara.
Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Hasyim Asyari di Semarang, Senin, mengatakan bahwa ada ketentuan baru dalam UU Nomor 42/2008 tentang Pilpres dibanding dengan UU Pilpres sebelumnya yakni dalam tahapan pendaftaran bakal pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
"Pada UU Nomor 42 Tahun 2008 menyebutkan bahwa dalam hal bakal pasangan calon yang diusulkan tidak memenuhi persyaratan, KPU meminta kepada parpol atau gabungan parpol pengusung untuk mengusulkan bakal pasangan calon lain sebagai pengganti. Tahapan itu tidak ada pada UU Pilpres yang sebelumnya," katanya.
Menurut Hasyim dengan ketentuan baru tersebut, bisa menyebabkan tahapan Pilpres menjadi lebih panjang karena saat bakal pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang sebelumnya tidak memenuhi syarat kemudian parpol maupun gabungan parpol kembali mengusulkan pasangan calon pengganti, maka KPU akan melakukan verifikasi ulang terhadap calon pengganti dimaksud.
Jika tahapan pemilu lebih panjang, tentu akan berimbas pada jadwal yang telah ditetapkan.
Padahal UU Nomor 42/2008 menyebutkan bahwa pemungutan suara pilpres dilaksanakan paling lama tiga bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Selain itu, 14 hari sebelum masa jabatan Presiden berakhir tanggal 20 Oktober, yakni 6 Oktober 2009 harus sudah ada pasangan calon presiden dan calon wakil presiden terpilih. Oleh karena itu, jika tahapan-tahapan pemilu sebelumnya molor, maka efek panjangnya terjadi kevakuman jabatan kepala daerah.
"Diharapkan partai politik matang dalam memilih dan mengusulkan bakal pasangan capres dan cawapresnya sehingga tidak menyebabkan tahapan pilpres molor," katanya.
Ditambah lagi, kata Hasyim, penetapan pasangan calon terpilih adalah pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari total jumlah suara sah dalam Pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Dalam hal tidak ada pasangan calon terpilih, lanjut Hasyim, pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung dalam Pilpres.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2009