Banjarmasin (ANTARA News) - Sejumlah narasumber "Dialog Rajab" 1428 Hijriyah dengan tema "Pengelolaan Energi Pada Masa Khilafah : Mencermati Fenomena Krisis Listrik di Kalimantan Selatan" sependapat bahwa privatisasi Perusahaan Listrik Negara (PLN) bisa menyengsarakan rakyat.
Oleh karenanya, para narasumber maupun pihak pelaksana "Dialog Rajab" yang berlangsung di Balai Kota Banjarmasin itu, Rabu, tidak sependapat jika ada gagasan atau keinginan pemerintah menswastakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kelistrikan tersebut.
Syahrituah Siregar, SE, MA, pengamat ekonomi dari Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, berpendapat jika PLN mau menaikan tarif listrik tentunya terlebih dahulu akan masih pikir-pikir, karena menyangkut pelayanan umum/pelayanan masyarakat.
"Berbeda dengan swasta yang cenderung mengutamakan keuntungan (profit), kalau mau menaikan tarif listrik, pasti," tandas dosen Fakultas Ekonomi Unlam yang juga memberikan kuliah pada program magister bidang studi manajemen itu.
Pasalnya, sudah menjadi karakter bagi perusahaan swasta yang bukan badan sosial tak akan mau rugi, tapi harus berupaya mengembalikan biaya produksi, bahkan berusaha pula untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya.
Karena itu pula, akan mematok tarif listrik yang tinggi jika tidak ada kompensasi lain, sehingga rakyat terutama dari golongan menengah ke bawah mungkin tak akan bisa menikmati listrik, disebabkan mahalnya membayar biaya pemakaian listrik, demikian S. Siregar.
Pendapat senada dari Ketua Lajnah Siyasiyah Dewan Pimpinan Daerah (DPD), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Kalsel, Hidayatullah Muttaqin, SE yang juga dosen Fakultas Ekonomi Unlam, seraya menyarankan, PLN bukannya sebagai BUMN, tapi Badan Usaha Milik Masyarakat (BUMM).
"Dengan Badan Usaha Milik Masyarakat, maka PLN tidak akan terlalu mengejar keuntungan, tapi memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi pemiliknya, seperti dengan tarif listrik yang murah," ujar Ketua Bidang Politik DPD HTI Kalsel tersebut.
Sebagai contoh di Iran, tiap rumah tangga bayar rekening listrik rata-rata hanya Rp50.000/bulan, berbeda dengan di Indonesia mencapai Rp100.000, demikian Hidayatullah M.
Sementara Ketua Serikat Pekerja PT.PLN (Persero) Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (Kalselteng), Ir. Supiana, secara sekilas mengungkapkan sejarah keberadaan BUMN tersebut, yang penuh perjuangan mengambilalih penguasaan dari perusahaan Balanda.
"Tujuan pengambilalihan itu dimaksudkan agar seluruh rakyat Indonesia hingga ke pelosok-pelosok desa dapat menikmati penerangan listrik, bukan seperti masa penjajahan Belanda hanya para priyayi dan golongan tertentu yang mendapatkan penerangan listrik," tuturnya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008