Jakarta (ANTARA News) - Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu yang juga merupakan koordinator kelompok negara berkembang G-33 menyesalkan buntunya perundingan sistem perdagangan dunia yang dikenal dengan Agenda Pembangunan Doha (Doha Development Agenda/DDA). "Ini sangat menyedihkan," kata Mari ketika dihubungi Antara, Rabu. Meski demikian, Mari berharap negara-negara anggota WTO tetap menunjukkan komitmen politisnya untuk menyelesaikan perundingan tersebut. "Dalam perundingan 10 hari ini, sudah ada kompromi untuk beberapa hal, kenapa tidak disepakati yang sudah ada dan yang belum, kita lanjutkan September," ujarnya. Setidaknya 50-60 persen materi draft perundingan yang dibuat pada awal Juli telah mencapai kesepakatan. Salah satunya adalah konsep Special Products (SP), yaitu pengecualian sejumlah produk pertanian dari pemotongan tarif bea masuk. Sementara itu, isu utama yang menjadi perdebatan dalam perundingan antara tujuh negara utama (Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, Brazil, China, Australia dan India) adalah Special Safeguard Mechanisme (SSM). SSM merupakan mekanisme perlindungan produk lokal dari impor produk serupa dengan pengenaan tambahan bea masuk (BM). Dalam teks yang ada , persyaratan untuk bisa diterapkannya SSM adalah jika volume impor mengalami kenaikan 40 persen dari total impor dan harga mengalami penurunan. G-33 dan kelompok negara berkembang lainnya seperti African Group menyatakan tidak sepakat dengan persyaratan tersebut karena dianggap tidak berguna untuk melindungi petani di negara berkembang. Kelompok negara berkembang meminta kenaikan volume impor yang menjadi syarat penerapan SSM adalah sekitar 10-15 persen dan tanpa harus menunggu turunnya harga produk lokal di dalam negeri. "Kita sudah menyatakan bersedia untuk kompromi. tapi kita tidak diajak bernegosiasi," ujar Mari. Dalam negosiasi G-7, India dan China berkeras meminta negara maju dalam kelompok tersebut untuk bersikap luwes dan menerima usulan negara berkembang itu. Sikap AS dinilai tidak mencerminkan konsensus G-7 sebelumnya. "Triger volume impor 40 persen itu terlalu tinggi. Itu berbeda dengan draft teks tanggal 10 Juli. Tapi AS tetap bersikukuh tidak mau lebih fleksibel dalam hal ini,"papar Mari. Menurut Mendag, poin tersebut merupakan hal prinsip yang diperjuangkan negara berkembang untuk melindungi petaninya dari dampak negatif liberalisasi perdagangan. Saat ini, negara-negara anggota WTO menunggu pernyataan Dirjen WTO Pascal Lamy mengenai kelanjutan perundingan DDA itu. Sejak 21 Juli, para menteri anggota WTO bertemu di Jenewa untuk mencari kesepakatan modalitas rancangan teks negosiasi perundingan sistem perdagangan dunia yang mengalami kemacetan sejak dua tahun lalu. (*)
Copyright © ANTARA 2008