Jakarta, (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, negara-negara muslim sebagai kelompok yang berada di wilayah pinggiran, rapuh dalam menghadapi kekuatan yang muncul dari era globalisasi. Dalam sambutan pembukaan seminar internasional ketiga cendekiawan muslim (ICIS) di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu, Presiden Yudhoyono menyebutkan berdasar indeks PBB, hanya sembilan negara muslim di dunia termasuk dalam kelompok maju. Sedangkan 40 persen populasi muslim dunia masih buta huruf dan hidup di bawah garis kemiskinan dengan penghasilan kurang dari satu dolar AS per hari. Negara muslim juga hanya menyumbang tujuh persen nilai perdagangan dunia. "Kenyataan ini membuktikan bahwa negara muslim belum kompetitif di dunia global. Kita masih berada di luar jangkauan aksi ekonomi global dan jauh dari pusat kesempatan ekonomi," tutur Presiden. Negara muslim, lanjut dia, berdiri rapuh dalam dua kekuatan yang muncul dalam era globalisasi. Yaitu, negara yang tertarik keluar hanya untuk dihisap dalam proses integrasi global, serta negara harus mempertahankan nasionalisme berdasar etnis, budaya, bahasa dan agama. "Ini menjadikan situasi tidak menentu, yang membuat sulit untuk menjaga perdamaian dan kemajuan yang stabil," ujar Presiden. Sebagai kelompok penyuplai 70 persen energi dunia dan 40 persen bahan mentah, Presiden Yudhoyono mengatakan, negara-negara muslim seharusnya dapat bersatu dan berbuat lebih banyak untuk dunia. Di antaranya adalah menjaga harmoni dan perdamaian, bukan justru menjadi pusat lokasi konflik dunia. Seminar internasional selama tiga hari diselenggarakan Nahdlatul Ulama itu bertema peran Islam membangun perdamaian dan menghindari konflik. Presiden berharap sarjana islam internasional yang berkumpul dalam seminar itu dapat menyampaikan pesan damai tidak hanya untuk komunitasnya, tetapi juga untuk dunia yang tidak pernah sepi berkonflik. "Sehingga, kalian semua bisa menjadi ulama tanpa batasan," ujarnya. Presiden mengatakan terlalu banyak energi dikeluarkan untuk menyelesaikan konflik, tetapi belum cukup guna menghindari konflik. Padahal, menghindari konflik dapat menghilangkan korban jiwa dan biaya ekonomi politik yang timbul dari pertikaian. Setiap konflik, lanjut Presiden, pasti memiliki karakteristik dan dinamikanya sendiri sehingga harus ditangani secara khusus. Namun, ia percaya tidak ada konflik yang tak dapat diselesaikan. "Kita hanya harus menemukan cara yang tepat, dan mempertahankan kemauan politik untuk menyelesaiakannya," demikian Yudhoyono. (*)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008