Jakarta (ANTARA news) - Sistem dominasi oleh negara tertentu akan terus mendapat perlawanan dari berbagai negara di dunia, termasuk Iran, kata Wakil Menteri Luar Negeri Iran untuk Pelatihan dan Penelitian Manuchehr Mohammadi di Jakarta pada Selasa."Masa depan dunia tak akan dibentuk atas dasar akhir sejarah, kemenangan demokrasi liberal, benturan peradaban dan pembentukan kekuatan `unipolar` atau `bipolar`, tapi atas dasar kelanjutan pergolakan terhadap sistem dominasi. Benturan bukan pada peradaban, tapi pada tata dominasi, yang sudah berlalu," kata Mohammadi dalam ceramah bertema Republik Islam Iran dan Tata Antarbangsa.Acara diselenggarakan Dewan Indonesia mengenai Masalah Dunia (ICWA) dan Kedutaanbesar Iran di Departemen Luar Negeri itu antara lain dihadiri mantan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, yang juga utusan khusus pemerintah Indonesia untuk Timur Tengah, dan mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas. Berdasarkan atas hasil penelitiannya, Mohammadi mencatat tata dominasi itu, yang diterapkan secara angkuh oleh Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, mengundang serangan terhadap keberadaannya, antara lain dengan kemenangan Revolusi Islam, perlawanan terhadap pendudukan Irak, kemenangan kelompok perlawanan --yang menyebabkan pasukan Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Italia dan Israel keluar dari Libanon tahun 1982--, kemenangan kaum kulit berwarna di Afrika Selatan dan Zimbabwe, kekalahan Uni Soviet di Afganistan. Selain itu, kemenangan pasukan anti-Amerika di Amerika Latin, kemunculan gerakan menentang globalisasi dan perang di Amerika Serikat dan Eropa, penarikan pasukan Israel dari Gaza dan kemandulan pasukan NATO dan Amerika Serikat di Afganistan. Pada akhirnya, menurut dia, terbentuk dua kelompok --yang tetap ingin mempertahankan dominasinya dan yang melawan dominasi-- sebagai akibat dari benturan dengan paradigma dominasi. "Kita menyaksikan sengketa kawasan dan dunia, perbedaan sudut pandang tentang konsep dan nilai politik dan internasional, dan sikap tak mau kompromi dari kedua kelompok tersebut," kata guru besar Universitas Teheran itu. Lebih jauh, Mohammadi --yang pernah mendalami kajian hubungan internasional di Amerika Serikat-- mengatakan pemain kunci kelompok bertahan dengan dominasi dan berada di garis depan adalah Amerika Serikat, yang masih merasa sebagai "adikuasa", walau Perang Dingin sudah tak ada lagi, disusul Masyarakat Eropa --yang dalam catatan sejarah memiliki kebijakan imperialistik dan kolonistik--, dan negara industri --yang bersekutu dengan Barat, seperti, Jepang, Rusia dan Cina. Di kubu penentang dominasi ada Iran, yang berada di barisan depan, disusul dunia Islam dengan berbagai gerakannya, negara berkembang di Afrika, Asia dan Amerika Latin, serta bangsa di negara maju Barat, yang tak puas akan kesenjangan sosial dan sistem dan nilai materialistik Barat. Ia menambahkan bahwa yang terjadi lebih banyak berpusat pada benturan budaya, bukan militer, karena Barat pada khususnya tetap pada nilai lama, yang tak cocok lagi dengan perkembangan saat ini. Mohammadi juga menyinggung soal Revolusi Islam Iran, yang pada awalnya diperkirakan pakar Barat hanya bertahan beberapa bulan. "Republik Islam Iran ternyata tetap ada hingga kini sejak revolusi berlangsung 30 tahun lalu," kata mantan gubernur di salah satu propinsi Iran tersebut. Kendati tak ada Ayatullah Khomeini, yang menjadi tokoh utama dalam revolusi itu, tambahnya, Iran memiliki kepemimpinan kuat dengan dukungan massa besar dan ideologi jelas. Menurut dia, Iran --yang ditekan terus oleh Amerika Serikat dan sekutunya-- merupakan gejala dan tetap melawan tekanan dan berhasil mengatasi tantangan, yang menghadangnya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008