Jakatya (ANTARA News) - Ketua Umum Front Persatuan Nasional (FPN) KH Agus Miftach mengatakan, kebijakan pemerintah sudah tepat dalam menangani konflik sektarian di dalam negeri dengan mendasarkan pada otoritas negara, yaitu ideologi Pancasila, konstitusi UUD 1945 dan hukum nasional. "Sejauh ini persuasi dan penindakan hukum yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok-kelompok sektarian, seperti Ahmadiyah itu sudah cukup signifikan, dan perlu terus dikembangkan ke arah rekonsiliasi sosial yang komprehensif sebagai sesama warga bangsa," kata Agus dalam sambutan pada Dialog Kebangsaan VI, di Jakarta, Selasa. Dia menjelaskan, awal Juni 2008 pemerintah menangkap Ketua Front pembela Islam (FPI) Habib Rizik Shihab dkk atas tindak kekerasan yang dilakukan terhadap AKKBB suatu organisasi sosial yang dinilai membela Ahmadiyah dan diduga melakukan pelanggaran hukum. Pada 9 Juni 2008 Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang melarang Syiar Ahmadiyah dan apabila Ahmadiyah melanggar SKB, berpeluang untuk dibubarkan berdasarkan UU No 1 PNPS tahun 1965. "Dalam hal ini pemerintah tidak bertindak atas dasar suatu keyakinan madzhab tertentu dalam agama Islam, melainkan mendasarkan pada otoritas negara," katanya. Kendati demikian, Agus yang juga Ketua Umum Aliansi Suara Rakyat (ASR) itu berpendapat dalam mengatasi konflik sektarian ini pemerintah telah berada dalam koridor yang benar, dan sebaiknya semua pihak mematuhinya, agar hasilnya efektif. Menurut dia, dari enam diktum SKB Nomor 199 Tahun 2008 tentang Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), intinya terletak pada diktum kedua dan ketiga. Banyak pihak, terutama yang anti-Ahmadiyah menilai SKB ini banci, mengambang, tidak jelas dan sebagainya. Padahal, kalau dicermati secara mendalam, SKB itu sudah memenuhi ketentuan dalam UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 tentang Penodaan Agama, di mana sifatnya memberi peringatan. Apabila peringatan ini tidak diindahkan, barulah dimungkinkan pelarangan ajaran Ahmadiyah melalui Keputusan Presiden. Di samping itu, JAI masih memiliki peluang berdiri sendiri sebagai agama Ahmadiyah di luar Islam. Dan dengan sendirinya dapat membangun pokok ajarannya sendiri berdasarkan keyakinan yang berkembang selama ini, seperti tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad dan "kitab" Tadzkirah, Ahmadiyah dapat menetapkannya sebagai pokok ajaran agama Ahmadiyah. "Justru posisi itu, menjadikan Ahmadiyah terlindungi oleh konstitusi dan sistem hukum Indonesia. Jika sebagai agama tersendiri, Ahmadiyah dapat menjalankan peribadatan dengan tenang sesuai pokok-pokok ajarannya sendiri dan tidak perlu ada konflik dengan kaum Muslimin," ujarnya. Pemimpin Wahdatul Ummah itu menegaskan, di pihak lain ada kelompok trans-nasional yang menginginkan dilaksanakannya sistem khilafah turki utsmaniyah jelas tidak sesuai ideologi dan konstitusi negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. "Sistem khilafah turki utsmaniyah adalah sistem dinasti utsmaniyah yang tidak pula mewakili nilai-nilai asli Islam," ujarnya. Oleh karena itu suatu tujuan politik untuk menjadikan sistem khilafat turki utsmaniyah menjadi system pemerintahan di Indonesia menggantikan dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945 adalah subversi yang harus pula dihadapi dengan otoritas negara sepenuhnya. Pada kesempatan itu Agus menyinggung, dalam situsi politik yang dinilainya anarkhistis dan perekonomian nasional yang tidak menentu dan diwarnai kasus korupsi dan mafia di sektor migas terutama BBM yang diperkirakan telah merugikan negara sebesar Rp200 triliun per tahun. "DPR telah menggelar penyelidikan hak angket yang tampak setengah hati. Bagaimana mungkin DPR akan menegakkan hak angket untuk menyelidiki segala bentuk penyelewengan serta membongkar mafia perminyakan jika mereka sendiri terindikasi melakukan korupsi dan menerima suap," demikian Agus yang juga mantan ketua harian Komisi Pemilihan Umum (KPU) 1999-2002 itu.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008