Pelarangan trawl dan cantrang akhirnya menjadi banci sebab di lapangan penggunaannya masih tetap ada
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah diharapkan dapat terus tegas dalam menindak kalangan pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan yang masih menggunakan alat tangkap jenis trawl yang diketahui merusak ekosistem laut serta berpotensi memicu konflik horizontal antarsesama nelayan.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia, Moh Abdi Suhufan kepada Antara di Jakarta, Sabtu, mengatakan berdasarkan data yang ada, penggunaan trawl di sejumlah daerah masih cukup banyak.
Moh Abdi Suhufan mencontohkan di kawasan perairan sekitar Lamongan, Jawa Timur, penggunaan alat tangkap trawl ini sering mengganggu aktivitas penangkapan kepiting rajungan yang banyak dilakukan nelayan setempat.
Dengan adanya gangguan tersebut, lanjutnya, maka potensi terjadinya konflik antara nelayan trawl dan rajungan juga sangat besar.
"Saat ini terdapat sekitar 500 kapal ikan ukuran di bawah 5 GT (Gross Tonnage) yang beroperasi menggunakan trawl di perairan Lamongan," kata Abdi.
Sementara itu, peneliti Destructive Fishing Watch Indonesia Laode Gunawan Giu mengatakan bahwa selain penggunaan trawl, pemerintah juga belum bersikap tegas terhadap pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang di Jawa Timur.
"Sekitar kurang lebih 900 kapal ikan ukuran di bawah 30 GT di Lamongan yang beroperasi secara ilegal," kata Laode Gunawan.
Menurut dia, saat ini masih terdapat kegamangan dari pemerintah pusat dan daerah serta aparat penegak hukum untuk secara tegas melaksanakan regulasi pelarangan alat tangkap cantrang.
"Pelarangan trawl dan cantrang akhirnya menjadi banci sebab di lapangan penggunaannya masih tetap ada," ujarnya.
Untuk itu, ia mengemukakan pentingnya pendekatan dan penyadaran kepada nelayan cantrang agar dapat beralih alat tangkap dan beralih lokasi tangkap agar kegiatan perikanan tangkap juga bisa lebih produktif tapi tidak merusak lingkungan.
Baca juga: Menteri Susi heran ada pengusaha tak setuju regulasi KKP
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019