Sidoarjo (ANTARA News) - Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) minta warga tiga desa yakni Desa Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring agar terus berkoordinasi terkait soal ganti rugi, menyusul terbitnya revisi Perpres No.14/2007 yang belum memasukkan semua wilayah mereka dalam peta terdampak yang akan mendapat ganti rugi dari APBN-P.
"Tidak semua kawasan di tiga desa itu mendapat ganti rugi. Kawasan yang ditetapkan mendapat ganti rugi ditentukan berdasar adanya risiko lumpur," kata Humas BPLS, Ahmad Zulkarnain di Sidoarjo, Senin.
Karena itu, ia minta warga tiga desa terus berkoordinasi dengan BPLS, karena dikhawatirkan warga yang malah mendapat informasi yang tidak jelas, bisa menimbulkan konflik horizontal. "Aspirasi warga akan kami sampaikan, terutama warga yang minta dimasukkan dalam kawasan yang mendapat ganti rugi," katanya.
Kawasan tiga desa itu akan dibuat kolam penampungan (pond) lumpur, sehingga kawasan Besuki Timur akan berhimpitan langsung dengan tanggul.
Selama ini warga menilai, kawasan Besuki Timur yang tidak termasuk mendapat ganti rugi dinilai tidak layak huni dan warga minta segera pindah.
Mereka kecewa terhadap peraturan presiden yang disahkan pada 17 Juli 2008. Sebab, dalam perpres baru itu (hasil revisi Perpres Nomor 14 Tahun 2007), wilayah mereka tidak masuk dalam peta terdampak lumpur Lapindo, meskipun pernah terkena luapan lumpur.
Desa Besuki ini terbagi dalam dua wilayah yang terpisahkan oleh bekas Tol Porong-Gempol, tepatnya di Kilometer 40. Saat ini, di Besuki timur terdapat sekitar 450 keluarga (1.500 jiwa) yang tersebar di tujuh RT.
Mulai Diukur
Sementara itu, nasib warga tiga desa yang kini dimasukkan peta terdampak kian jelas. BPLS melakukan pengukuran di kawasan tersebut mulai Senin.
Kawasan itu masing-masing Desa Besuki (barat eks tol), Kedungcangkring dan Pejarakan, Kecamatan Jabon Sidoarjo.
Menurut Staf Humas BPLS Akhmad Kusairi, pengukuran dilaksanakan pihak yang berkompeten di antaranya Dinas Pekerjaan Umum (PU) Cipta Karya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan tim verifikasi BPLS. "Mereka akan mengukur luas sawah, pekarangan dan bangunan," katanya.
Karena itu, lanjutnya, BPLS mengimbau warga memberi batas permanen tanahnya. Batas itu tentunya telah disepakati antar tetangga di sebelahnya. Sebab jika tidak ada kesepakatan, dikhawatirkan menimbulkan perselisihan antarwarga.
"Biasanya antar warga berebut luas lahan. Karena itu, harus ada batasan permanen yang sesuai," katanya.
Ia mengatakan, pengukuran pernah dilakukan sebelumnya yakni saat presiden menyetujui kawasan tersebut dimasukkan peta terdampak.
"Pengukuran yang sekarang hanya mengecek kembali, sehingga bangunan baru yang sebelumnya tidak ada (pada pengukuran dan pengambilan gambar pertama) akan diabaikan. Artinya, BPLS tidak menghitung bangunan baru tersebut. Sebab itu dibangun setelah pemerintah menetapkan kawasan itu masuk peta," katanya.
Kusairi juga mengimbau warga tidak mendirikan bangunan baru. Sebab, kawasan itu akan mereka tinggalkan. "Percuma jika mereka tetap membangun dengan harapan mendapat ganti yang lebih banyak. Biarkan seperti apa adanya," katanya.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008