Kupang (ANTARA News) - Kasus yang dialami 12 nelayan Indonesia asal Kelurahan Oesapa Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang akan menjalani sidang lanjutan di Australia setelah dipulangkan oleh pihak Imigrasi negara itu pada pekan lalu, mencerminkan bahwa pelindungan negara terhadap warga negaranya masih rendah. "Kita harus belajar banyak dari Amerika yang memberikan perlindungan serta tanggung jawab penuh kepada warga negaranya serta seluruh asetnya di negara mana pun. Konsep seperti ini tampaknya belum berjalan di Indonesia," kata pengamat hukum internasional dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Wilhelmus Wetan Songa SH.MHum di Kupang, Senin. Sejumlah 12 nelayan Indonesia asal Oesapa Kupang itu ditangkap patroli Angkatan Laut Australia pada April 2008 lalu atas tuduhan memasuki wilayah perairan negeri kanguru itu secara ilegal untuk mencuri ikan dan biota laut lainnya. Muslimin Arifin (37), seorang nelayan asal Oesapa Kupang menuturkan, ia bersama rekan-rekannya ditangkap patroli Angkatan Laut Australia ketika masih dalam wilayah perairan Indonesia, tetapi digiring masuk ke wilayah perairan negara itu oleh petugas keamanan setempat. "Kami ditangkap secara sewenang-wenang oleh Australia tanpa adanya pembelaan sedikit pun dari pemerintah Indonesia. Perahu kami dibakar tanpa adanya ganti rugi, tetapi pemerintah kita diam saja melihat kenyataan ini," kata Muslimin Arifin. Menurut dia, ada sekitar 500 nelayan Indonesia yang bermukim di Kota Kupang dan sekitarnya mencari ikan dan biota laut lainnya di wilayah perairan selatan NTT dengan Australia menjadi resah karena tidak ada pembelaan dari negara terhadap warga negaranya yang ditindak oleh negara lain. Abdullah Kona, seorang nelayan lainnya menambahkan, selama tiga bulan ia bersama rekan-rekannya ditahan oleh pihak Imigrasi Australia sambil menunggu proses sidang. "Selama proses sidang berlangsung, kami didakwa jaksa Australia telah memasuki wilayah kontinental Australia secara ilegal. Dakwaan ini membuat kami bingung karena kami yakin belum melewati Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Kami masih berada dalam garis batas 12 mil dari garis pantai Indonesia ketika patroli AL Australia menangkap kami," ujarnya. Argumentasi yang dikemukakan Abdullah Kona berpedoman pada peta penangkapan ikan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia dan Australia. "Kalau mengikuti peta Indonesia maka batas perairan Indonesia masih jauh sampai sekitar 20 mil dari garis pantai Indonesia, sementara mengikuti peta Australia maka hampir seluruh wilayah perairan selatan NTT menjadi milik Australia, apalagi mereka berpedoman pada kontinental, artinya seluruh daratan dasar laut sampai sebagian wilayah NTT masuk Australia," tambah Muslimin Arifin. Namun, kata dia, peralatan yang digunakan seperti GSP, peta penangkapan ikan serta kompas, sama sekali tidak diakui oleh patroli AL Australia, malah memusnahkannya. Menurut dia, ada sekitar 36 kapal milik nelayan Kupang ditenggelamkan dan dibakar oleh patroli AL Australia pada April 2008 lalu. "Kapal-kapal itu kami beli dari Makassar, Sulawesi Selatan dengan harga berkisar antara Rp100 juta sampai Rp155 juta per unit. Kami baru membayar 50 persennya, sementara 50 persen sisanya akan dilunasi setelah tiga tahun kapal itu beroperasi," katanya. Wilhelmus Wetan Songa mengatakan negara harus memberikan pembelaan kepada warga negaranya yang ditindak secara semena-mena oleh negara lain. "Tetapi dalam kasus nelayan Indonesia yang mencari ikan di wilayah perairan selatan NTT dengan Australia, saya tidak pernah melihat ada mendapat pembelaan dari negara terhadap nelayan kita. Di sini saya melihat ada semacam konspirasi di antara kedua negara sehingga nelayan kita yang diperlakukan secara sewenang-wenang selalu luput dari perhatian Jakarta," katanya. Muslimin Arifin mengatakan ia bersama rekan-rekannya sudah mengadu ke DPRD NTT, Komnas HAM, tetapi tidak ada jawaban yang pasti. "Kalau pemerintah Indonesia menegaskan bahwa seluruh wilayah perairan selatan NTT milik Australia maka kami tidak akan masuk lagi untuk mencari ikan di sana. Kami sangat kecewa dan menderita berkepanjangan karena perahu-perahu kami dimusnahkan semuanya oleh Australia," katanya. Abdullah Kona melihat ada kejanggalan dalam penanganan nelayan Indonesia oleh pihak kepolisian dan Imigrasi negara tersebut. "Saya melihat ada ketidakadilan yang dilakukan oleh polisi dan imigrasi Australia. Sejumlah nelayan dari Makassar diberi kompensasi antara Rp100 juta sampai Rp300 juta untuk biaya ganti rugi perahu, sementara kami dari Kupang sama sekali tidak diberi kompensasi," ujarnya. Sejumlah 12 nelayan Indonesia asal Oesapa Kupang itu akan kembali lagi ke Darwin, Australia Utara untuk menjalani sidang lanjutan pada November mendatang. "Pada bulan Oktober nanti, kami akan dijemput petugas dari Departemen Perikanan Australia untuk menjalani sidang lanjutan. Jika kami tidak memenuhi panggilan tersebut maka akan didenda Rp5 juta per orang dan dilarang untuk mencari ikan di wilayah perairan selatan NTT. Jika ditangkap maka Australia akan memenjarakan kami seumur hidup," ujarnya. Para nelayan asal Oesapa Kupang itu menyatakan penyesalannya dengan sikap Pemerintah Indonesia yang diam saja melihat rakyatnya diinjak-injak oleh negara lain pada saat mereka mencari makan di dalam wilayah perairan Indonesia. "Kami hanya berharap pemerintah Indonesia dapat menggugah hati Australia untuk memberikan ganti rugi terhadap 36 kapal yang dimusnahkan pada April lalu dengan nilai kerugian sekitar Rp40 miliar," kata Muslimin Arifin menambahkan. Wilhelmus Wetan Songa berpendapat, masalah yang dihadapi para nelayan ini sebenarnya bisa dikomunikasikan oleh pemerintah daerah dengan pemerintah pusat untuk mencari jalan pemecahannya, karena bagaimana pun mereka adalah bagian dari anak bangsa meski hanya berstatus sebagai nelayan.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008