Mataram (ANTARA) - Dua tersangka kasus korupsi pembangunan dermaga di kawasan wisata Gili Air, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, tidak menjalani penahanan, tetapi mereka diperintahkan oleh penyidik untuk wajib lapor.
"Setelah ditetapkan sebagai tersangka dan menjalani pemeriksaan awal Kamis (10/10), klien kami hanya dikenai wajib lapor," kata penasihat hukum untuk dua tersangka berinisial AA dan ES, Imam Sopian, di Mataram, Jumat.
Menanggapi keputusan penyidik yang memberikan kliennya untuk wajib lapor, Imam melihatnya sebagai sebuah kepercayaan kepadanya.
Oleh karena itu, dia menjamin selama proses hukumnya berlangsung, kliennya akan menunjukkan sikap yang kooperatif dengan kebutuhan penyidikan yang dilaksanakan Tim Subdit III Tipikor Ditreskrimsus Polda NTB.
Terkait dengan hal tersebut, Direktur Reskrimsus Polda NTB Kombes Pol. Syamsudin Baharuddin mengatakan bahwa wajib lapor yang diberikan kepada tersangka itu sebenarnya kewenangan penyidik.
Baca juga: Penyidik periksa pejabat Dishublutkan terkait korupsi dermaga Gili Air
"Sebenarnya penyidik yang berhak memutuskan ditahan atau tidak. Akan tetapi, kalau yang bersangkutan bersikap kooperatif, alasan subjektifnya terpenuhi," kata Syamsudin.
Namun, untuk lebih pastinya terkait dengan tidak adanya penahanan tersebut, Syamsudin mengaku belum menerima laporan dari penyidik.
"Coba nanti saya tanyakan lagi kepada penyidik. Kalau memang tidak ditahan, alasannya apa," ujarnya.
Pada hari Kamis (10/10), tiga tersangka hadir ke hadapan penyidik untuk kali pertamanya memberikan keterangan sebagai tersangka.
Tiga tersangka tersebut adalah mantan Kabid Dishublutkan Lombok Utara berinisial AA dengan peran dalam proyek tersebut sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK).
Dua tersangka lainnya adalah ES dan SU dari pihak rekanan pelaksana proyek.
Mereka menjalani pemeriksaan hingga Kamis (10/10) malam di Ruang Subdit III Tipikor, lantai dua Gedung Ditreskrimsus Polda NTB. Para tersangka hadir ke hadapan penyidik dengan didampingi penasihat hukumnya masing-masing.
Selain ketiga tersangka, ada dua orang tersangka lainnya, yakni LH dan SW, dari pihak konsultan pengawas. Namun, sampai pemeriksaan selesai pada Kamis (10/10) malam, terpantau keduanya tidak menampakan diri ke hadapan penyidik.
Baca juga: Penanganan kasus korupsi proyek dermaga Gili Air masuk penyidikan
Meskipun berada dalam peran berbeda, sebagai tersangka mereka dikenai pidana pasal serupa, yakni Pasal 2 dan/atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Diketahui bahwa proyek dermaga Gili Air ini berasal dari dana APBN yang disalurkan dalam bentuk dana alokasi khusus (DAK) pada tahun anggaran 2017. Proyek itu ditender dengan pagu anggaran Rp6,7 miliar yang kontrak kerjanya sebesar Rp6,28 miliar.
Hasil penyidikan menemukan indikasi pekerjaan pembangunan tidak sesuai dengan spesifikasi. Demikian juga dengan volume pekerjaannya.
Meskipun laporannya tidak sesuai dengan kondisi pengerjaan, PPK dalam bukti penyidikannya tetap melakukan pembayaran pekerjaan sampai lunas.
Bahkan, proyek yang seharusnya tuntas pada bulan Desember 2017 sempat molor dari pekerjaan dan telah diberikan waktu perpanjangan hingga Januari 2018.
Namun, hingga batas waktu pengerjaan pada bulan Januari 2018, proyek tersebut belum juga selesai.
Meskipun demikian, Bupati Lombok Utara Najmul Akhyar tetap meresmikan pembangunannya.
Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019