"Para lender (pemberi pinjaman) yang menanamkan uangnya di fintech lending terikat oleh kontrak di mana mereka tidak boleh menarik dana dalam jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan dalam kontrak tersebut, sehingga fintech lending nyaris tidak akan pernah mengalami risiko rush money," ujar Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK, Hendrikus Passagi di Jakarta, Kamis.
Hendrikus menjelaskan dengan demikian sebenarnya model bisnis fintech lending dalam jangka panjang akan mampu ikut memperkuat stabilitas sistem keuangan di Indonesia.
Selain terikat kontrak, para lender di fintech lending juga turut serta melakukan asesmen terhadap fintech lending dan nasabah peminjam (borrower), mengingat jika terjadi kredit macet maka yang menanggung risiko tersebut adalah lender-nya bukan fintech lending. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh nasabah bank konvesional.
"Penyelenggara fintech lending dilarang memberikan jaminan dalam bentuk apapun. Dengan demikian kalau terjadi kredit macet yang menanggung adalah investor (lender) di fintech lending tersebut bukan fintech lending-nya," kata Hendrikus.
Terkait tingkat kredit macet atau wan prestasi (TWP) per Agustus 2019 yang mencapai 3,06 persen, OJK menilai hal tersebut masih logis dan aman.
Menurut Hendrikus, jumlah peminjam dan nilai pinjaman yang terus meningkat mendorong naik tingkat kredit macet karena fintech lending berani mengambil risiko untuk memberikan pinjaman kepada jumlah nasabah peminjam baru saat ini.
"Kalau kredit macet harus rendah maka fintech-fintech lending tidak akan memberikan pinjaman serta tidak melakukan ekspansi karena tidak berani mengambil risiko," kata Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK tersebut.
Pewarta: Aji Cakti
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2019