"Sebenarnya sederhana kalau kita mau memenuhi target penurunan gas rumah kaca (GRK), yakni jangan ada kebakaran hutan, pasti angkanya akan turun. Problemnya ada di situ," ujar Mumu ketika ditemui dalam diskusi perihal rancangan teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan itu, Mumu mengatakan meski pemerintah sudah memasukkan kerangka rencana pembangunan terkait isu perubahan iklim, maka langkah nyatanya adalah menekan angka karhutla.
Baca juga: Menteri LHK: Perubahan iklim picu iklim ekstrem
Baca juga: Kebakaran hutan berlanjut, KLHK sebut emisi GRK masih lebih rendah
Menurut data dari Global Fire Emisssions Database (GFED), Indonesia menghasilkan 15-20 juta ton karbon per hari ketika terjadi karhutla pada awal September 2015. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan total 14 juta ton karbon yang dihasilkan kegiatan ekonomi Amerika Serikat setiap harinya.
Untuk itu, Koordinator kelompok sipil Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah meminta agar pemerintah memperdalam perihal langkah mitigasi perubahan iklim dalam RPJMN 2020-2024, mengingat Indonesia juga ikut meratifikasi Kesepakatan Paris pada 2015.
"Memang sudah disebut di rancangan terakhir, namun belum jelas sejauh mana diturunkan dalam tataran program. Selain itu juga tataran adaptasi dan mitigasi dari sisi sektoral. Mungkin ada di kementerian, tapi di sektoral RPJMN perlu dijelaskan lebih dalam lagi," kata Maryati yang juga hadir dalam diskusi tersebut.
Indonesia memiliki target penurunan emisi GRK sebesar 29 persen dengan upaya sendiri hingga 41 persen dan dengan bantuan internasional pada 2030.*
Baca juga: Tren emisi GRK naik, pengelolaan sampah harus lebih serius
Baca juga: DKI Jakarta inisiasi program "Samtama" kurangi sampah
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019