FDI adalah pembiayaan CAD yang paling baik dibandingkan cara lainnya
Jakarta (ANTARA) - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan Indonesia harus meningkatkan investasi terutama skema langsung atau foreign direct investment (FDI), sebab neraca transaksi berjalan masih defisit tiga persen dari PDB sampai kuartal II-2019.
"Kenapa Indonesia butuh investasi? Jawabannya, simple karena negara kita masih tumbuh dan ballance of trade kita belum cukup untuk membuat current account tidak defisit,” katanya saat ditemui di Kantor Bappenas, Jakarta, Kamis.
Menurutnya, FDI adalah pembiayaan CAD yang paling baik dibandingkan cara lainnya yaitu portofolio sebab jika melalui portofolio sering kali fluktuatif karena mudah terpengaruh terhadap kondisi dalam negeri.
Baca juga: Darmin akui realisasi investasi dan jumlah KEK di bawah harapan
Di sisi lain, Bambang menuturkan saat ini daya saing ekonomi global Indonesia sedang melemah karena kebijakan terkait investasi yang masih rumit dan kurang ramah seperti adanya tumpang tindih aturan di kementerian/lembaga yang menyebabkan minat investor untuk berinvestasi ke Indonesia kecil.
“Ya, itu larinya ke regulasi tadi yang dianggap masih menghambat,” ujarnya.
Sementara itu, negara-negara di Asia dan dunia lainnya sedang berlomba dan sangat agresif dalam menawarkan berbagai kemudahan penanaman modal sehingga bisa mendatangkan para investor.
Ia mencontohkan Meksiko yang sedang berusaha keras menarik investasi dari Amerika, Eropa Timur, dan Afrika yang mengincar investasi dari Eropa Barat, serta Thailand dan Malaysia yang terus menyediakan berbagai hal menarik bagi investor.
Bambang melanjutkan Indonesia tidak boleh ketinggalan dalam hal menarik investor tersebut, sebab investasi merupakan sumber inflow yang akan memperkuat perekonomian sehingga pemerintah harus terus membuat kebijakan yang ramah terhadap investor baik asing maupun domestik.
"Investasi untuk Indonesia itu masih sangat penting," ujarnya.
Sebelumnya, World Economic Forum (WEF) mengeluarkan indeks daya saing global (GCI) tahun 2019 yang menempatkan Indonesia di rangking 50.
Dalam laporan itu menyebutkan Indonesia mengumpulkan skor 64,6 atau turun tipis 0,3 dibandingkan tahun lalu.
"Penurunan secara keseluruhan skor GCI masih kecil dan kinerja pada dasarnya tidak berubah," tulis laporan tersebut.
WEF juga menyebut kekuatan utama Indonesia adalah pasarnya dengan nilai 82,4 dan stabilitas ekonominya (90).
Mencermati kinerja dalam indikator lain pada indeks, WEF menilai masih ada ruang untuk peningkatan poin 30-40, meskI tidak ada hambatan utama.
WEF menyebutkan bahwa Indonesia mengedepankan semangat budaya bisnis dengan skor 69,6 dan sistem keuangan yang stabil mencapai nilai 64, keduanya meningkat selama tahun 2018.
Sementara itu, adopsi teknologi tinggi mencapai skor 55,4, mengingat pembangunan dan kualitas aksesnya masih relatif rendah.
Sedangkan, terkait kapasitas inovasi Indonesia, WEF menilai sudah bertumbuh meski masih terbatas dengan skor 37,7.
Sedangkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi penanaman modal asing (PMA) sepanjang kuartal II 2019 sebesar Rp104,9 triliun atau turun 2,8 persen dari kuartal sebelumnya. Pada kuartal I 2019, PMA yang masuk ke Indonesia tercatat sebesar Rp107,9 triliun.
Baca juga: Daya saing ekonomi Indonesia turun akibat regulasi yang rumit
Baca juga: Indonesia-Italia tingkatkan kerja sama perdagangan dan investasi
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019