Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah belum merevisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor.09/PMK.011/2008 tentang besaran Pungutan Ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan turunannya karena masih menunggu aturan wajib (mandatory) pemanfaatan biofuel di dalam negeri.Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan, Bayu Krisnamurthi di Jakarta, Kamis mengatakan, dalam aturan PE sawit ada PE biofuel berbasis sawit dan itu terkait dengan kebijakan yang sedang disusun yaitu mandatory biofuel untuk penggunaan dalam negeri."Kita ingin melakukan penyesuaiannya sekaligus,"katanya.Menurut Bayu, dengan adanya aturan mandatory biofuel maka PE untuk biofuel dari sawit dipastikan akan lebih tinggi dari yang berlaku saat ini yaitu maksimal 5 persen."Kita lihat ini sebagai kebijakan yang terintegrasi, kalau nanti PE-nya kita buat terlalu tinggi sementara pasar dalam negerinya belum pasti kan kasihan juga (industrinya), meski kita memang ingin mendiversifikasi bahan bakar mineral ke biofuel,"jelasnya. Dengan peraturan PE CPO yang baru itu, lanjut Bayu, pencegahan penyelundupan akan lebih baik lagi. "Kalau sudah diterapkan di dalam negeri, maka struktur pasar CPO dan turunannya akan berbeda dan pengaturan diborder lebih baik lagi,"ujarnya. Ia memperkirakan revisi Peraturan Menteri Keuangan Nomor.09/PMK.011/2008 tentang besaran PE CPO dan turunannya itu dapat diterbitkan dalam satu atau dua bulan mendatang. Sebelumnya, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan perubahan aturan PE CPO itu dilakukan untuk mengantisipasi lonjakan harga CPO dunia, agar PE-nya tidak melonjak juga. "Selama ini kalau harga dunia melonjak, PE-nya juga melonjak. Jadi, nanti dia (PE) lebih `smooth` pergerakan PE-nya," katanya. Menurut dia, aturan PE CPO progresif yang ada sekarang telah menimbulkan ketidakpastian bagi pengusaha dan tidak terlalu menguntungkan negara. "Yang sekarang, terlalu membuat ketidakpastian terhadap penghitungan ekspornya, kalau bulan depan melonjak PE-nya, dia (eksportir) akan ekspor banyak-banyak bulan ini. Bulan depannya dia tidak akan ekspor banyak," jelas Mendag. Mari menambahkan saat ini pemerintah masih melakukan pembahasan dengan pengusaha untuk menyusun aturan PE yang baru itu. "Ada beberapa opsi, salah satunya membuat PE CPO yang lebih kepada sensitif terhadap gejolak harga dunia. Yang sekarang perubahan PE-nya terlalu tajam. Nanti akan lebih sensitif terhadap pergerakan harga CPO dunia," tambahnya. Salah satu opsi yang dibahas, lanjut Mendag, adalah mempersempit kisaran kenaikan PE yang sebesar 5 persen setiap kenaikan harga dunia 100 dolar AS per ton. Saat ini, PE CPO ditetapkan progresif hingga maksimal 25 persen. Ekspor CPO tidak dikenakan PE jika rata-rata harga CPO internasional mencapai 550 dolar AS per ton. Jika harga CPO CIF di Rotterdam rata-ratanya mencapai 550-649 dolar AS per ton maka PE-nya sebesar 2,5 persen. Jika harga CPO mencapai 650-749 dolar AS per ton maka PE ditetapkan 5 persen. Jika harga CPO mencapai 750-849 dolar AS per ton maka dikenakan PE sebesar 7,5 persen dan jika harga melampaui 850 dolar AS dikenakan PE sebesar 10 persen. Pengenaan PE Progresif diberlakukan sejak September 2007 menyusul fluktuasi harga CPO dunia. Tingginya kenaikan harga CPO dunia menyebabkan pemerintah menambah range kenaikan PE CPO hingga 25 persen pada awal Februari 2008. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor.09/PMK.011/2008 yang diterbitkan 1 Februari 2008 disebutkan jika harga CPO di Rotterdam melewati 1.100 dolar AS per ton, maka PE-nya sebesar 15 persen. Sedangkan jika harganya melampaui 1.200 dolar AS per ton PE-nya menjadi 20 persen dan jika harganya melampaui 1.300 dolar AS per ton PE-nya menjadi 25 persen. Mendag berharap dengan ketentuan PE yang baru nanti pemerintah juga akan mendapatkan keuntungan lebih. "Bisa jadi justru `revenue`-nya lebih tinggi," ujar dia.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008