Kupang (ANTARA) - Pengamat hukum dan administrasi negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr. Johanes Tuba Helan, SH, Mhum mengatakan, sangat tidak etis jika partai oposisi harus meminta jatah menteri dalam pemerintahan.
"Menurut saya, sangat tidak etis karena sebagai partai yang kalah dalam pilpres, seharusnya menempatkan diri sebagai oposan dalam pemerintahan," kata Johanes Tuba Helan kepada Antara di Kupang, Rabu.
Dia mengemukakan hal itu, berkaitan dengan sikap Partai Gerindra yang meminta jatah menteri dalam kabinet Pemerintahan Joko Widodo.
Lagi pula, penyusunan kabinet oleh presiden menjadi hak partai politik yang tergabung dalam koalisi pemenang pemilu presiden (pilpres).
Baca juga: Soal kabinet, Pemuda Muhammadiyah: Jokowi mestinya lebih leluasa
Baca juga: Bambang Soesatyo soal menteri kabinet baru Jokowi
Baca juga: Gerindra bantah Prabowo minta jatah tiga menteri di kabinet
Menurut dia, jika partai politik yang kalah dalam pilpres juga meminta jatah menteri, berarti perjuangan partai politik semata mencari jabatan atau kekuasaan.
"Ibarat pertandingan sepak bola. Sudah ada hasil kalah-menang, tetapi ketika bagi hadiah, pihak yang kalah juga minta hadiah. Apakah ini logis," katanya dalam nada tanya.
Kabar Partai Gerindra meminta jatah posisi menteri dalam pemerintahan Jokowi, menjadi sorotan menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2019.
Dalam pemberitaan sejumlah media massa, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono mengungkapkan, partainya meminta tiga posisi menteri di kabinet Presiden Joko Widodo.
Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani juga mengakui adanya pembicaraan antara utusan Partai Gerindra dan Presiden Jokowi, terkait tawaran posisi menteri dalam pemerintahan periode 2019-2024.
"Pembicaraan itu memang ada. Kita tidak bisa pungkiri bahwa ada pembicaraan, ada pemikiran di sekitar Istana untuk itu," kata Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/10).
Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019