Jakarta (ANTARA) - Permohonan uji materi UU Pilkada yang diajukan Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) diminta disertai kajian yang mendalam tentang pendidikan politik masyarakat Indonesia.
Hakim konstitusi Arief Hidayat yang memimpin sidang pendahuluan didampingi Saldi Isra dan Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta, Selasa, menyarankan nantinya kajian tentang putusan MK tentang syarat calon mantan terpidana mengumumkan kepada publik rekam jejaknya dikaitkan dengan pendidikan politik yang belum maksimal.
Baca juga: MK diminta prioritaskan gugatan syarat mantan terpidana korupsi
Baca juga: ICW dan Perludem gugat syarat mantan terpidana korupsi dalam pilkada
Baca juga: KPU ingin aturan larangan mantan koruptor didukung revisi UU
"Kalau masyarakat pendidikan politik bagus, ini ada orang sudah pernah dipidana meski sudah menjadi bayi (setelah menjalani hukuman), orang ini mesti ada penghukuman lagi sehingga jangan dipilih, masa tidak ada orang yang lebih baik daripada yang itu," tutur Arief Hidayat.
ICW dan Perludem pun diberi masukan untuk menguraikan kaitan calon yang merupakan bekas terpidana korupsi masih dipilih kembali oleh masyarakat serta mengulangi tindakannya melakukan korupsi.
"Apa ada kesalahan sistem rekrutmen pejabat publiknya? Itu supaya kita dapat gambaran komplit dan komprehensif dari pemohon," kata Arief Hidayat.
Kajian itu pun dimintanya dikaitkan dengan sistem politik di Indonesia yang memakan anggaran banyak untuk calon kepala daerah.
Gugatan juga disarankan disertai teori kriminologi kejahatan berulang agar dalam pertimbangan --apabila permohonan dikabulkan-- MK mendorong hakim memberikan sanksi hukum pidana disertai pencabutan hak politiknya untuk dipilih.
Dalam kesempatan itu, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan pihaknya akan menindaklanjuti saran yang diberikan hakim konstitusi dengan menyusun kembali rasionalisasi beberapa argumen.
"Kami akan betul-betul perbaiki dan membangun argumentasi yang lebih kuat lagi dengan pertimbangan akademik yang lebih baik," ucap Titi Anggraini.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019