Kami mengingatkan, jangan sampai penyelenggaraan pemilihan berjalan sukses namun bawaslu masuk bui semua."
Surabaya (ANTARA) - Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Jawa Timur menilai penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) Pilkada serentak 2020 antara pemerintah daerah dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) kabupaten/kota bisa berpotensi maladministratif atau cacat prosedur.
Ketua KIPP Jatim Novli Thyssen, di Surabaya, Selasa, mengatakan ada beberapa daerah yang belum menandatangani NPHD karena beberapa faktor perubahan perencanaan program yang harus disesuaikan dengan kekuatan anggaran di masing masing daerah.
Baca juga: KPU: 61 daerah belum penandatanganan NPHD Pilkada 2020
Baca juga: Bawaslu Riau tandatangani NPHD Pilkada 2020 untuk enam kabupaten
Baca juga: Penandatanganan NPHD Pilkada 2020 di Bali dilaksanakan serentak
Baca juga: Ketua KPU: Keterlambatan NPHD jangan mengganggu Pilkada 2020
"Terkait dengan NPHD tersebut, KIPP Jatim menyoroti NPHD antara pemda dengan bawaslu kabupaten/kota," katanya.
Menurut dia, penandatanganan NPHD haruslah dilakukan oleh lembaga dan atau pejabat daerah yang mempunyai kewenangan untuk melakukan. Dalam hal ini, lanjut dia, bawaslu kabupaten/kota tidak mempunyai kewenangan untuk mengajukan anggaran ataupun menandatangani anggaran yang tertuang di dalam NPHD untuk penyelenggaraan pilkada serentak 2020.
Hal ini, lanjut dia, dikarenakan bawaslu bukanlah subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum dalam konteks pengawasan pemilihan serentak 2020, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan, bahwa tugas dan wewenang mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilihan dilakukan oleh Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih).
Perbuatan hukum bawaslu kabupaten/kota yang menerima dan menandatangani NPHD, kata dia, dapat dikatakan telah melampaui kewenangan dan melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014.
"Ini karena bawaslu bukanlah subyek hukum yang mempunyai kewenangan menerima ataupun menandatangani NPHD, sebaliknya, kewenangan itu ada pada panwaslih sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 10 Tahun 2016," ujarnya.
Untuk itu, lanjut dia, pihaknya menilai penandatanganaan NPHD oleh Bawaslu termasuk maladministratif atau cacat prosedur dan berpotensi menimbulkan masalah ke depan.
"Kami mengingatkan, jangan sampai penyelenggaraan pemilihan berjalan sukses namun bawaslu masuk bui semua," katanya
Ia menjelaskan penandatanganan NPHD oleh Bawaslu kabupaten/kota termasuk melampaui kewenangan, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak memberikan kepastian hukum, melanggar Asas Asas Umum Pemerintahan yang baik dan cacat prosedur.
Hal itu, kata dia, jelas melanggar Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, khususnya pasal 17 ayat 2a, pasal 18 ayat 1c, pasal 10 ayat 1 dan pasal 66 ayat 1b.
Diketahui terdapat 261 kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan pilkada serentak 2020. Artinya sebanyak 261 kabupaten/kota yang akan menandatangani NPHD. Melihat dinamika sebagaimana terurai di atas, KIPP Jatim mengimbau seluruh bawaslu kabupaten/kota agar tidak terburu-buru menandatangani NPHD.
"Revisi dulu UU 10/2016 agar tidak menjadi masalah ke depan. Alternatif lainnya bisa dengan cara mendesak Presiden untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)," katanya.
Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019