Pemberdayaan masyarakat yang dilakukan PT Medco E&P Indonesia setidaknya dapat membantu kehidupan ekonomi masyarakat di tengah jatuhnya harga karet dan sawit.
Palembang (ANTARA) - Namanya Desa Gajah Mati, tapi spirit warganya tidak akan pernah mati, meski harga getah karet dan sawit merosot tajam, namun masih ada usaha tanaman obat keluarga yang didukung perusahaan kontraktor migas PT Medco E&P Indonesia.
Hampir semua penduduk Desa Gajah Mati, Kecamatan Babat Supat, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba), Sumatera Selatan, memiliki pekarangan luas yang potensial diolah untuk mendongkrak taraf kehidupan mereka.
Yeni Lusmita (56), salah satu warga Desa Gajah Mati tidak mau menyia-nyiakan pekarangan rumahnya.
Ia menanam beranekaragam tanaman obat keluarga (toga). Ada kumis kucing, cabai jawa, kunyit putih, remek daging, sosor bebek, sirih merah, keladi tikus, lidah buaya, jahe, daun iler, daun kelor, sambiloto, hingga temulawak.
Usaha memanfaatkan lahan pekarangan menjadi apotek hidup dilakukan Yeni sejak 2011. Tak heran bila kini dia didapuk menjadi Ketua Koperasi Wanita Herbal di desa tersebut.
Kecintaan Yeni pada toga dilatarbelakangi kegemaran mengonsumsi jamu semenjak kecil. Kebiasaan ini mengikuti gaya hidup ibunya.
“Saya dari kecil selalu dicekoki jamu. Kalo sakit tidak ada itu minum obat-obat kimia, dikasih obat dari ramu-ramuan tanaman sendiri yang ada di pekarangan rumah. Sampai sekarang, saya begitu,” kata Yeni saat dijumpai pada kegiatan Field Trip Media bersama SKK Migas Sumbagsel, Selasa (1/10/2019).
Baginya, tanaman obat dapat menjadi solusi untuk mengobati berbagai penyakit sekaligus menjaga kesehatan dengan cara memanfaatkan daun, bunga, batang, akar, buah, bahkan biji.
Walhasil, apa yang dilakukan Yeni menarik perhatian PT Medco E&P Indonesia. Salah satu perusahaan minyak dan gas yang beroperasi di Kecamatan Babat Supat, Muba, itu menjadikan Yeni sebagai sosok pioner pengembangan toga di Desa Gajah Mati.
Pperusahaan migas tersebut memiliki program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dalam upaya pemberdayaan ekonomi khusus bagi desa-desa di sekitar lapangan migas.
Pada 2012, bersama pendampingan dari teknisi CSR PT Medco E&P Indonesia, Yeni berhasil merangkul sekitar 60 ibu rumah tangga di desa tersebut untuk bersama-sama mengembangkan toga di pekarangan masing-masing. Mereka diberi bantuan bibit dan beragam alat serta berbagai pelatihan untuk membuat obat-obat herbal.
Namun disayangkan, seiring bergulirnya waktu, jumlah 60 personel Kelompok Herbal Desa Gajah Mati yang semula berhasil direkrut itu, berguguran. Pada 2019 menyisakan 15 orang saja. “Bisa dikatakan ini hasil seleksi alam,” kata Yeni.
Ia mengaku, memang tidak mudah mengajak para ibu rumah tangga di desanya untuk memanfaatkan pekarangan. Apalagi sebagian besar keluarga di desa tersebut memiliki lahan karet dan sawit yang memberikan pendapatan memadai karena pada 2011 itu harga jual komoditas perkebunan masih tinggi.
Kini, anggota Kelompok Herbal rata-rata memiliki sekitar 100 jenis tanaman obat di pekarangan masing-masing. Meski demikian, tiap-tiap anggota memiliki tanaman andalan sehingga jika ada anggota lain yang membutuhkan bisa saling bertukar untuk memenuhi pesanan konsumen.
Terkait pemasaran produk, setiap anggota diberi kebebasan untuk memasarkan sendiri hasil kebun toga mereka, meski sudah ada koperasi.
“Saya izinkan setiap anggota berjualan sendiri, atau cari pasarnya sendiri. Tapi, pesanan besar umumnya dari saya (koperasi, red), dan saya order ke anggota sudah dalam bentuk teh, kapsul, jamu, dan minuman sehat,” tutur Yeni.
Obat-obat herbal Yeni dkk yang menjadi buruan yakni obat untuk jenis penyakit kolesterol, diabetes, asam urat, lever, darah tinggi, hingga kanker. Setiap bulan, Yeni mampu mengantongi omset kotor Rp10.000.000 dengan mempekerjakan lima ibu rumah tangga di sekitar kediamannya. Meningkatnya omset ini dipengaruhi juga inovasi berjualan secara online sejak 2017.
Yeni sendiri mampu memproduksi sekitar 2.000-3.000 kapsul herbal setiap bulan, sementara untuk seduhan teh hanya sekitar 15 bungkus. Pada umumnya, konsumen kurang suka dengan rasa pahit khas minuman herbal dan lebih memilih obat dalam bentuk kapsul ketimbang seduhan. Harga produk dipatok Rp10.000-Rp50.000/kemasan.
Kemampuan Yeni mengolah bisnis toga berkat pendidikan nonformal bersertifikat sebagai herbalis yang diikutinya pada 2015 di Pusat Pelatihan Pengobatan Herbal Karyasari di Bogor, Jawa Barat, dengan dukungan PT Medco E&P. Pada kesempatan itu, Yeni berkesempatan mempelajari cara pengolahan sekitar 200 jenis tanaman obat.
Setelah mengenyam pendidikan tersebut, kemampuan Yeni dalam mengolah toga meningkat pesat sehingga bisa menghasilkan produk-produk herbal berlabel halal dan bersertifikat izin produk rumahan. Sementara untuk izin BPOM saat ini masih diusahakan karena adanya standar yang mesti dipenuhi yakni harus memiliki laboratorium.
Produk yang sudah banyak dihasilkan dan menjadi andalan seperti teh kunyit, teh jahe, serbuk minuman temulawak, sirup buah rosella, kunyit asem herbal, keripik daun iler, minyak kelapa virgin, keripik bayam, dan sebagainya.
Belum lama ini, Yeni juga membuat formula obat untuk penyakit lupus. Saat ini, ia sedang menunggu hasil uji laboratorium di Karyasari mengenai kelayakan komposisi obat lupus racikannya.
Tak hanya itu, sebagai praktisi herbal, ia juga sudah berhasil menyembuhkan 15 penderita ketergantungan terhadap narkoba yang ingin membuang racun dalam tubuh. “Mereka hanya mengonsumsi enam kapsul satu hari, dan harga per butir hanya Rp1.000 dalam waktu tiga bulan. Setelah diperiksa sudah bersih dan tidak kambuh lagi sakitnya,” kata dia.
Beragam prestasi pun diraih oleh Kelompok Herbal Gajah Mati, seperti menjadi juara Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) tingkat Provinsi Sumatera Selatan, sehingga akan dikirim pada ajang KTNA tingkat nasional di Padang, Sumatera Barat. pada 2020.
Keberhasilan yang dicapai Yeni bukan tak berliku. Awalnya ia memasarkan produk dengan berkeliling di pasar, kantor, bahkan dari rumah ke rumah.
Lama kelamaan, produknya mulai dikenal sehingga banyak pembeli justru mengunjungi rumahnya untuk membeli obat herbal yang dibutuhkan.
Bila dulu Yeni hanya menerima jatah bulanan dari suami yang berprofesi pekebun karet, kini dia bisa memperoleh pemasukan tambahan yang cukup melesat sejak tiga tahun terakhir.
Tak heran, dua dari empat anaknya bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, dan dua lainnya masih duduk kelas III SMK serta kelas II SMP.
Lantaran keberhasilannya itu, tetangga Yeni mulai tertarik untuk ikut menanam toga. Nilawati, salah satu anggota Kelompok Herbal, mengatakan, saat ini sudah mendapatkan pemasukan tambahan sekitar Rp500.000-Rp800.000 per bulan dari 100 jenis tanaman obat yang ada di pekarangannya.
Selain itu ia juga mendapatkan pemasukan dari menjual keripik yang dibuat dari berbagai daun seperti bayam, daun darujuk, daun Iler, dan daun pegagan.
“Saya senang dapat tambahan pemasukan, apalagi saya sudah ditinggal suami dan ada empat anak,” kata Nilawati.
Baca juga: BPPT kembangkan enzim dan obat herbal bersama Zhejiang University
Berkah dari usaha Yeni tak hanya dinikmati warga Desa Gajah Mati. Jujuk, warga Desa Babat Rambah Raya, juga kebagian keuntungan sekitar Rp1.000.000 per buan dari hasil menjual minuman teh rosela dan teh racikan untuk obat diabetes, asam urat, hipertensi, dan ginjal. “Lumayan, bisa bantu-bantu biaya sekolah,” kata dia.
Kepala Desa Gajah Mati, Suryanak, mengatakan, pemberdayaan masyarakat yang dilakukan PT Medco E&P Indonesia setidaknya dapat membantu kehidupan ekonomi masyarakat di tengah jatuhnya harga karet dan sawit. Bisa dikatakan program toga yang didukung PT Medco E&P begitu tepat sasaran dengan keadaan terkini masyarakat Desa Gajah Mati.
“Kami sangat berterima kasih atas kepedulian dari perusahaan migas Medco E&P ini, karena pendampingan dan pemberdayaan yang dilakukan telah membantu ekonomi beberapa keluarga di desa ini,” kata dia.
Bahkan, Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin pun menilai model pemberdayaan ini dapat dikembangkan lebih luas lagi ke desa-desa lain. Apalagi, Pemkab Muba sudah menghibahkan lahan desa seluas setengah hektare untuk dijadikan lokasi tanaman toga dan membagikan ribuan polyback gratis kepada warga yang berminat mengembangkan usaha toga.
“Biar lebih maksimal lagi, karena jika hanya memakai pekarangan rumah ibu Yeni tentunya sulit untuk berkembang lebih luas,” kata Suryanak.
Menurutnya, obat-obatan herbal produksi Yeni dkk memiliki potensi ekonomi luar biasa jika dikembangkan karena adanya tren di masyakarat untuk “back to nature”. Apalagi sekarang harga komoditas perkebunan merosot tajam sementara kebutuhan hidup sehari-hari justru merayap naik.
Potensi itu yang mendorong Medco E&P mengembangkan usaha toga di 12 desa di Kecamatan Babat Supat yang berpusat di Desa Gajah Mati.
Harus didorong
Pemanfaatan pekarangan di Desa Gajah Mati dan sekitarnya kini telah berjalan lancar. Namun demikian, usaha ini masih harus terus didorong agar bisa bertahan dan berkembang.
“Bagi yang tidak suka tanam menanam memang agak sulit, harus terus didatangi dan dimotivasi. Beda dengan ibu Yeni yang sudah menjadi sosok inspirasi, karena beliau sangat suka berkebun, selain itu harus tetap berinovasi,” kata Teknisi Program Pemberdayaan Masyarakat PT Medco E&P Indonesia, Hendri Payana.
Ia menjelaskan, program CSR PT Medco E&P Indonesia disalurkan ke bidang ini karena menilai pemberdayaan masyarakat melalui kebun toga sangat potensial dikembangkan. Seiring dengan kesadaran masyakat terhadap pentingnya menjaga kesehatan secara alami dengan menghindari obat-obatan kimia, maka obat-obatan berbahan herbal tentu akan menjadi buruan.
Oleh karena itu, perusahaan migas yang memiliki Lapangan Migas Rimau Asset ini memberikan kesempatan kepada ibu-ibu untuk mengenyam pendidikan non formal di Pusat Pelatihan Pengobatan Herbal Karyasari di Bogor, salah satunya Yeni Lusmita, yang kini telah menyandang gelar herbalis bersertifikat.
Saat ini para ibu-ibu ini juga diberikan kesempatan untuk mendapatkan pelatihan akupuntur bersertifikat. Dengan demikian, saat ada kunjungan ke Kebun Toga Gajah Mati, mereka bisa memberikan pijat refleksi kepada para pengunjung.
Terkait program ini, Kepala Perwakilan SKK Migas Wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) Adiyanto Agus Handoyo mengatakan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di wilayah Sumsel diwajibkan tidak hanya fokus pada usaha pertambangan migas, tapi juga pembinaan dan pemberdayaan masyarakat.
Saat ini di Sumbagsel terdapat 20 KKKS yang bermitra dengan UMKM dan fokus pada pembinaan serta pemberdayaan masyarakat.
"Sudah cukup banyak KKKS di wilayah kami yang melakukan pembinaan masyarakat. Biasanya KKKS ini melihat apa yang menjadi unggulan di desa yang berada di wilayahnya, tergantung keunikan dan apa yang bisa dikembangkan," kata dia.
Program pemberdayaan masyarakat melalui kebun toga ini sejalan dengan harapan industri farmasi nasional. Saat ini, didorong pengembangan produksi obat berbahan baku dari alam atau fitofarmaka seiring masih minimnya jenis obat herbal di pasaran.
Sebelumnya, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Penny K Lukito saat berkunjung ke Palembang belum lama ini mengatakan, kondisi masih minimnya jenis obat herbal di pasaran amat disayangkan mengingat Indonesia memiliki potensi besar untuk menghasilkan fitofarmaka.
Apalagi pemerintah berencana obat berbahan baku alam ini dapat masuk dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai alternatif pengobatan karena fitofarmaka dinilai lebih aman bagi masyarakat.
"Kami punya sekitar 3.000 tanaman obat tetapi baru 23 produk yang masuk dalam kategori melalui uji klinik yang berkhasiat dalam pengobatan,” kata dia.
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019