Jakarta, (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (Kejagung) pekan depan akan menetapkan tersangka baru dari PT Pos Indonesia, terkait kasus investasi di bidang batu bara hingga negara mengalami kerugian sebesar Rp40 miliar. "Minggu depan akan ditetapkan sebagai tersangka," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Marwan Effendy, di Jakarta, Selasa. Dikatakan, kasus tersebut melibatkan orang dari PT Pos Indonesia pusat, karena menggunakan uang perusahaan tersebut sebagai moda usaha bisnis batu bara. Marwan Effendy menyebutkan praktik yang dilakukan itu jelas menyalahi aturan, karena bidang bisnis PT Pos Indonesia pada pelayanan jasa namun diubah menjadi bidang batubara. "Akhirnya uang PT Pos tidak bisa dipertanggungjawabkan, uang lenyap batubara pun lenyap. Itu menyalahi aturan," katanya.Disebutkan, praktik itu diduga dilakukan di sejumlah daerah lainnya, seperti, Ombilin, Lampung, Sumatera Selatan. "Kalau keseluruhan, mungkin bisa lebih dari Rp40 miliar," katanya. Disamping itu, ia mengatakan tujuh pegawai PT Pos Indonesia yang sudah ditetapkan menjadi tersangka termasuk Direktur Utama (Dirut) PT Pos Indonesia, Hana Suryana, tidak bisa dipertanggungjawabkan uang BUMN itu karena menggunakan data fiktif. Sebelumnya, tujuh pegawai PT Pos Indonesia termasuk Direktur Utama (Dirut) PT Pos Indonesia, Hana Suryana, ditahan Kejaksaan Agung terkait kasus dugaan korupsi senilai Rp40 miliar. Keenam tersangka itu, yakni, mantan Kepala Kantor Pos Jakarta Pusat, HO, Kepala Kantor Pos Mampang, RAP, mantan Kepala Kantor Pos Jakarta Pusat, HC, Kepala Kantor Pos Pondok Gede, MTF, Kepala Kantor Pos Jakarta Selatan, YTH, dan Kepala Kantor Pos Jakarta Barat, ER. Kasus itu sendiri bermula dari Surat Edaran Direktur Operasional PT Pos Indonesia Nomor 41/DIROP/0303 tanggal 20 Maret 2003 tentang Panduan Pelaksanaan Potongan Harga, Pembinaan Eksternal dan Intensif untuk kiriman bisnis komunikasi serta pelaksanaan kiriman perlakuan khusus bagi kiriman berskala besar, yang besaran komisinya, yakni, tiga persen, empat persen dan lima persen. Namun Kepala Wilayah Kantor Pos IV Jakarta, telah memperbolehkan pemberian komisi sebanyak lima persen sampai enam persen, dan kemudian dibuatkan kwitansi fiktif seolah-olah telah diterima oleh pelanggan, padahal sesungguhnya yang menerima uang adalah pejabat/pegawai kantor pos sendiri. (*)
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2008