Denpasar (ANTARA News) - Badan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPD Hipmi) Jawa Timur menyatakan menolak susunan pengurus BPP Hipmi diketuai Erwin Aksa, hasil Munas XIII di Nusa Dua, Bali, Minggu (20/7).Hal itu karena Badan Pengurus Pusat (BPP) Hipmi periode 2008-2011 tersebut dinilai cacat hukum, di antaranya berita acara pembentukannya tidak ditandatangani oleh seluruh tim formatur yang disepakati sidang pada musyawarah nasional."Salah seorang anggota tim formatur, Novita Dewi, tidak bersedia menandatangani berita acara pembentukan kepengurusan BPP Hipmi, sehingga kepengurusan itu kami anggap cacat hukum," kata Dewan Pembina BPD Hipmi Jatim, HA Faried dalam keterangan persnya, Senin (21/7) di Nusa Dua.Selain tidak bersedia membubuhkan tandatangan, Novita Dewi yang dalam Munas itu memperoleh dukungan terbanyak kedua setelah Erwin Aksa, yakni meraih 34 suara, juga tidak hadir di ruang sidang untuk tampil bersama 29 anggota pengurus BPP Hipmi 2008-2011.Meski tidak ditandatangani Novita Dewi selaku anggota formatur, namun hasil pembentukan susunan pengurus baru tetap diumumkan oleh pimpinan sidang yang terdiri Asri Anas (Sulawesi Barat), Hengky Purwoko (DKI Jakarta), Suryandri (Sumatera Utara), Sarman Simanjorang dan Kamarusammad (BPP Hipmi). "Meski baru ditandatangani oleh dua formatur, Erwin Aksa dan Sandiaga Uno, dipaksakan diumumkan oleh pimpinan sidang di hadapan peserta Munas. Ini jelas cacat hukum," tutur Faried seraya menegaskan BPD Hipmi Jatim menolak dan tidak mengakui susunan pengurus baru itu. Dia mengakui mekanisme yang dijalankan selama persidangan cukup bagus, namun sangat disayangkan setelah formatur ditetapkan dan diberikan kesempatan menyusun kepengurusan lengkap, mereka tidak melaksanakan tugasnya secara bersama-sama. Padahal tim formatur mengemban amanat Munas secara bersama-sama. "Kenyataannya salah seorang formatur tidak secara aktif dilibatkan dalam penyusunan kepengurusan lengkap itu," kata Faried. Hal senada disampaikan oleh Dewan Pertimbangan BPD Hipmi Sulawesi Tenggara, Anton, SH, yang menilai ada ketidaklaziman yang terjadi selama berlangsungnya Munas Hipmi XIII. Menurut dia, proses demokratisasi wajar sebagai dinamika dalam organisasi, tapi tidak boleh ada intimidasi. "Di Munas kemarin ada tekanan dari tim sukses kandidat tertentu untuk memaksakan dukungan suara," katanya. Hal itu seperti yang dialami BPD Hipmi Sultra oleh oknum BPP Hipmi. Selain itu, katanya, hak kepesertaan tidak sepenuhnya diberikan kepada yang berhak, melainkan digunakan oknum tertentu untuk memberikan suara. Anton menjelaskan, Novita Dewi tidak mendapat kesempatan untuk bersama-sama menyusun kepengurusan baru, sehingga susunan pengurus baru yang dipaksakan itu cacat hukum. Sementara Novita Dewi menyebutkan bahwa proses pembentukan pengurus membutuhkan waktu yang cukup, namun tiba-tiba sudah ada pengumuman hasil kepengurusan lengkap. "Saya jadi bingung karena rapat formatur belum selesai, tapi telah diumumkan. Karena itu saya tidak bersedia menandatangani," tegasnya. Novita mengakui adanya tekanan untuk segera mengesahkan susunan pengurus baru tersebut, termasuk adanya keinginan agar pemilihan ketua umum dilakukan secara aklamasi. "Tampaknya ada desakan halus agar saya mengundurkan diri dari pencalonan ketua umum. Ini membuktikan bahwa sejak awal memang ada rekayasa yang mengarah pada terjadinya proses aklamasi," ucapnya.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008