Album #LIKE! yang dirilis pada 2016 menjadi tonggak baru dalam kebangkitan mereka setelah ditinggal beberapa personel, serta perubahan manajemen dalam menghadapi perubahan bisnis rekaman.
Baca juga: Cokelat pilih bikin lagu baru ketimbang daur ulang "Tembang Kenangan"
"Salah satu momen terbaik adalah saat kami merilis album #LIKE!. Akhirnya orang melihat kami kembali dan mendapatkan kepercayaan publik," kata gitaris Cokelat, Edwin Marshal Sharif, kepada ANTARA beberapa waktu lalu.
"Itu zaman orang-orang bikin single doang. Tapi kami bikin album. Tidak gampang," katanya.
Proses yang menguras keringat saat memproduksi album itu membuat Cokelat menemukan tim dengan kekuatan yang baru. Tim yang lebih solid karena mampu mengerjakan album itu secara mandiri, tanpa sokongan perusahaan rekaman besar, alias indie.
"Akhirnya kami berempat saja dan ini kekuatan solid yang baru. Industri musik sedang kacau, band yang ganti vokalis lalu bubar itu banyak. Tapi kami tidak," kata dia.
Baca juga: Kikan Namara berdamai dengan bayang-bayang band Cokelat
Banyak yang mengira bahwa Cokelat terpuruk setelah vokalis pertama, Namara "Kikan" Surtikanti, memutuskan hengkang. Namun menurut Cokelat, saat terburuk adalah saat Ernest memilih gantung gitar dari band itu.
"Momen paling sulit saat Ernest keluar. Sementara itu berat banget buat kami semua, ditambah manajemen kurang ciamik saat itu," kata Ronny Febry Nugroho pemain bass Cokelat.
"Saat itu gua baper, takes time untuk bisa menerima telpon Ernest," ujar dia.
Baca juga: Tanpa Kikan Band Cokelat Tetap Eksis
Kendati demikian, hengkangnya Ernest membuat Cokelat menjadi lebih solid dengan formasi yang lebih ramping. Semua personel termotivasi untuk membuktikan bahwa Cokelat mampu menyuguhkan hal baru kepada penggemarnya.
"Kalau #Like! tak rilis, band ini kelar. Gua juga merambah bidang lain. Saking down-nya, pernah merasa apakah gua bukan musisi. Saat Kikan cabut itu biasa saja, tapi ketika fase kedua itu (Ernest keluar) baru benar-benar down," katanya.
"Kami rilis album sebagai jalan keluarnya. Semua personel merasa ini harus dirilis. Ini penting, bagaimana pun caranya," kata Ronny.
Ronny dan Edwin berpendapat selama 23 tahun berkarir, #LIKE! adalah album yang paling mereka banggakan. "Karena album itu adalah turning poin," kata mereka.
Konsep kuat
Cokelat bertahan berkat konsep yang kuat, memadukan musik rock yang maskulin dengan kekuatan syair yang dinyanyikan oleh vokalis perempuan.
Kendati terkenal lewat lagu-lagu bertema nasionalis, namun ungkapan pengkhianatan dan kekecewaan pada "Pergi!", "Karma", "Luka Lama", "Segitiga", dan "Peralihan Hati", membuat lagu-lagu mereka mudah diterima berbagai kalangan.
"Kebetulan kami menemukan tema yang menurut kami -- saat membawakan 'Karma' -- adalah pengalaman bersama," kata Ronny. "Bagian 'Kuingin kau rasakan, Pahitnya terbuang sia-sia', adalah hal yang juga gua alami."
"Itu karena soal rasa. Kebetulan penyanyinya perempuan, jadinya begitu," ucap dia.
Baca juga: Kikan menanti kehadiran band dengan vokalis perempuan
Edwin mengatakan konsep band dengan vokalis perempuan sebenarnya bukanlah hal yang istimewa. Namun menyatukan musik rock dengan lirik yang lebih mengena pada vokalis perempuan adalah kuncinya.
"Nah Cokelat berhasil mem-blending itu. Kenapa tidak vokalis cowok, itu tidak akan menjadi spesial. Spesialnya kami adalah bisa bikin rock dengan memasukkan rasa perempuan," kata Edwin.
Ketika ditanya adakah hasrat untuk memakai vokalis laki-laki, Ronny dan Edwin menjawab, "Kami punya proyek musik lain dengan vokalis cowok. Jadi tidak penasaran."
Konsep lain yang menjadi ciri khas Cokelat adalah membawakan lagu dengan irama ceria, terutama untuk lagu bertema nasionalis. "Nasionalisme Cokelat adalah merayakan. Otomatis, dalam merayakan, lagunya harus ceria," kata Ronny.
Baca juga: Axel Cokelat menyesal pernah bikin tato nama pacar
Energi baru
Masuknya vokalis Jackline Rossy Natalia dan Axel Andaviar, putra Ovy gitaris /RIF, menjadi energi baru bagi Cokelat, sekaligus menambah referensi musik bagi band yang terbentuk pada 1996 itu.
"Kami banyak lagu yang lebih keras, kami juga ada lagu yang mainnya di drop-D (istilah teknis bermain gitar), dan ini perjalanan yang seru," kata Edwin. "Ketika Axel masuk, yang sangat glam rock dengan berbagai referensi, kami tidak meminta dia menjadi soft. Dia beradaptasi dan kami semua nyaman."
Sedangkan Jackline, yang menjadi vokalis ketiga setelah Kikan dan Sarah, menilai setiap hari bersama Cokelat adalah tantangan. Bukan karena berusaha lepas dari bayang-bayang vokalis lama, melainkan berusaha menampilkan hal terbaik untuk pendengarnya.
"Awalnya kaget untuk menyatukan karakter dengan cowok-cowok ini," kata Jackline. "Tapi mereka mengarahkan aku, jadinya aku malah merasa klik dan tidak jadi beban."
Baca juga: /rif akan aransemen musik sesuai dengan daerah yang dikunjungi
Jackline juga tidak masalah apabila dibandingkan dengan vokalis sebelumnya. Alasannya, jika dibandingkan, artinya orang-orang terus mendengarkan lagu mereka punya harapan kepada Cokelat.
"Kalau dibandingkan itu seharusnya hal yang wajar. Buat saya, band rock keren Indonesia ya Cokelat. Jadi namanya band punya penggemar, kalau dibanding-bandingin ya wajar."
Baca juga: Resep nge-band awet ala Ahmad Albar dan Eet Sjahranie
Ronny mengatakan dengan formasi ini, Cokelat konsisten berkarya di jalur rock karena musik jenis itu sudah menjadi identitas mereka. Mereka juga telah merilis single "Anak Garuda" dengan musik khas ala Cokelat yang ceria dan segar.
"Kami sempat galau tentang warna musik di album #LIKE!" kata dia.
"Referensi kami beda, ada yang suka rock klasik, ada yang grunge, metal, ada yang elektronik, ada yang swedish. Tapi yang menyatukan kita adalah rock alternatif ini," katanya.
"Tugas kami adalah berkarya, tak usah mikirin laku atau tidak." katanya. "Siklus yang tidak akan berhenti adalah saat berkarya. Berkarya terus, jangan tiba-tiba berubah," tutup Ronny.
Baca juga: Kata Nicky Astria soal sulitnya mencari "Lady Rocker" masa kini
Baca juga: Rocker Atiek CB ternyata pemalu
Baca juga: "Hail Gundala" dari band rock Bandung Glosalia jadi lagu film Gundala
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2019