Magelang (ANTARA) - Pihak Panitia HUT ke-108 Gereja Paroki Ignasius Kota Magelang menyampaikan permintaan maaf kepada komunitas lima gunung Magelang karena agenda kegiatan mereka menggunakan nama Kirab Budaya Lima Gunung."Kami menyampaikan permohonan maaf secara tulus karena kekhilafan ini, tidak ada kesengajaan," kata Kepala Gereja Paroki Santo Ignasius Kota Magelang, Romo Wahadi, Pr., di Magelang, Sabtu.Kirab budaya sebagai rangkaian kegiatan peringatan hari jadi gereja itu rencananya berlangsung Minggu (26/7).Menurut rencana, kirab budaya dimulai dari halaman SD Kanisius Pendowo, di dekat Gereja Ignasius, melewati Jalan Yos Sudarso dan berakhir di Alun-Alun Kota Magelang itu antara lain diikuti grup kesenian soreng (Gunung Merbabu), Grasakan (Sumbing), Gangsir Ngentir (Merapi), Jatilan Turonggo Krido (Tidar), grup kesenian barongsai, rodat, jatilan bocah, dan topeng ireng.Sejumlah spanduk bertuliskan "Kirab Budaya Lima Gunung" yang sejak beberapa waktu lalu dipasang di beberapa tempat di kota itu, pada Sabtu (19/7) terlihat telah diturunkan pihak panitia. Undangan yang disebar panitia kepada berbagai pihak tidak mencantumkan nama "lima gunung" untuk kirab budaya itu. Pihak gereja, katanya, akan mengirimkan surat permohonan maaf atas kekhilafan itu kepada pihak komunitas lima gunung yang sejak relatif lama dipelopori seniman dan budayawan, Sutanto Mendut. "Tentu kejadian ini menjadi pembelajaran penting bagi kami untuk membangun kebersamaan dan mengembangkan kekayaan seni dan budaya secara baik," kata Wahadi yang juga Kepala Gereja Kevikepan Kedu itu. Ia mengatakan, kesenian dan kebudayaan sebagai kekayaan masyarakat di kawasan itu, menjadi sarana penting dalam membangun semangat kebersamaan, persatuan, kekeluargaan, dan mengabarkan nilai-nilai kemanusiaan. Ketua Panitia HUT ke-108 Gereja Ignasius, Yos Bambang, mengaku, telah menyelesaikan persoalan khilaf itu dengan pihak komunitas lima gunung. "Saya dan beberapa anggota panitia sudah ke Pak Tanto untuk meluruskan masalah ini," katanya. Topografi Magelang dikelilingi lima gunung yakni Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh. Seniman rakyat petani dari lima gunung itu sedikitnya sejak tujuh tahun terakhir secara intensif membangun komunitas untuk pelestarian dan pengembangan tradisi budaya dan kesenian. Setiap tahun mereka menggelar Festival Lima Gunung yang seakan menjadi puncak silaturahmi tahunan antarkomunitas seniman rakyat setempat. Desa-desa yang kini dikenal luas sebagai kekuatan komunitas lima gunung itu antara lain Tutup Ngisor (Merapi), Gejayan, Petung, dan Warangan (Merbabu), Mantran (Andong), Krandegan (Sumbing), Borobudur dan Mendut (Menoreh). Berbagai kesenian tradisional dan kontemporer yang mereka lestarikan dan kembangkan antara lain wayang orang, topeng ireng, soreng, musik truntung, jatilan, grasak, kuda lumping, ndayakan, rodat, dan berbagai karya instalasi alami serta "performance art" khas petani gunung. "Yang jelas teman-teman lima gunung yang sudah berproses selama tujuh tahun, tidak terlibat dalam acara Minggu (26/7)," kata Riyadi, salah seorang tokoh komunitas lima gunung dari Desa Gejayan, di kawasan lereng Gunung Merbabu. Ia mengatakan, komunitas lima gunung selama ini bergulat secara konsisten dengan kebudayaan dan kesenian di desa masing-masing. Tentunya, katanya, pergulatan panjang dan memiliki catatan sejarah budaya gunung-gunung di Magelang itu akan terus ditekuni sehingga tradisi berkesenian dan berkebudayaannya berumur panjang. Nama "Lima Gunung", katanya, boleh saja dipakai siapa pun. "Tetapi pada akhirnya lima gunung yang asli, akan tetap eksis," katanya. Menurut rencana, katanya, komunitas lima gunung akan mengadakan aksi bertajuk "Meditasi Budaya Tolak Balak" di dusun masing-masing, 21-30 Juli 2008, sebagai tanggapan kultural dan intelektual atas penggunaan label lima gunung itu oleh pihak di luar komunitas asli. Tokoh utama komunitas lima gunung Magelang, Sutanto Mendut, mengatakan, sudah menerima kedatangan pihak Panitia HUT ke-108 Gereja Ignasius. "Mereka sudah datang dan menyampaikan maaf, kejadian ini tidak perlu dibesar-besarkan karena hanya khilaf," katanya. Memang, katanya, nama komunitas kesenian lima gunung Magelang seringkali digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu di luar pengetahuan pihaknya. Ia menyatakan menerima permintaan maaf dari pihak Panitia HUT Gereja Ignasius Kota Magelang karena secara jujur dan tulus telah mengakui khilaf. "Peristiwa ini sebagai bagian dari pendidikan dan pembelajaran kultural bersama untuk semua, dalam rangka membangun budaya bangsa dan menerapkan fatsun budaya," katanya. Komunitas lima gunung Magelang, katanya, telah memperkaya catatan sejarah kebudayaan bangsa melalui peran seni dan budaya mereka tak hanya di Magelang tetapi juga di kota-kota lainnya di Indonesia, kata Sutanto Mendut.(*)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008