Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Juanda mengatakan tidak ada dasar untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden jika mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).

"Saya tidak tahu apa alasan para pihak yang menyimpulkan jika Perpu ditetapkan ketika Revisi UU KPK belum diundangkan, maka Presiden dapat dimakzulkan. Secara hukum tata negara belum saya temukan dasar hukum dan logika seperti itu," kata Juanda, dihubungi di Jakarta, Sabtu.

Baca juga: Ngabalin: Komentar Surya Paloh soal pemakzulan adalah hal biasa

Baca juga: Pakar hukum: penerbitan Perpu KPK tidak berpotensi pemakzulan Presiden

Pernyataan Juanda menanggapi adanya pernyataan sejumlah pihak bahwa Presiden bisa dimakzulkan jika menerbitkan Perpu KPK, yang menjadi tuntutan mahasiswa dan publik, apabila UU KPK hasil revisi belum diundangkan.

Juanda mengatakan pemakzulan Presiden dalam sistem konstitusi Indonesia dilakukan karena Presiden melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, atau dianggap tidak memenuhi syarat.

Hal tersebut tercantum dalam pasal 7A dan 7B UUD 1945.

"Tidak ada satu kata dalam pasal itu yang menyiratkan bahwa menetapkan Perpu sebelum UU diundangkan maka Presiden bisa dimakzulkan," ujar dia.

Baca juga: Guru Besar Hukum Unbor sebut Perpu KPK tidak diperlukan

Dia menekankan Perpu KPK dikeluarkan tidak tergantung pada sudah atau belum diundangkannya sebuah revisi UU KPK, namun pada ada atau tidaknya kegentingan memaksa atas penilaian subyektif Presiden.

"Jadi aneh juga cara berpikir hukum para pihak yang kurang paham tentang kriteria atau syarat, substansi dan alasan Perpu itu dikeluarkan, tanpa didasarkan pada prinsip konstitusionalitas yang berlaku," kata dia.

Senada dengan Juanda, peneliti bidang hukum The Indonesian Institute Aulia Y Guzasiah mengatakan potensi pemakzulan terhadap Presiden jika mengeluarkan Perpu KPK sebelum revisi UU KPK diundangkan, sama sekali tidak ada.

Aulia menegaskan dasar atau alasan pemakzulan Presiden hanya seperti tercantum dalam pasal 7A UUD 1945.

Baca juga: Pengamat nilai Presiden tak bisa dimakzulkan karena terbitkan Perpu

"Entah apa yang melandasi berbagai argumen pemakzulan yang sebagaimana berseliweran saat ini. Penerbitan Perpu atas UU KPK, jelas tidak memenuhi unsur-unsur pemakzulan tersebut," tegas Aulia.

Terlebih, kata dia, dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi juga telah dijelaskan kewajiban MK memberikan keputusan atas pendapat DPR RI, bahwa Presiden memenuhi syarat untuk dimakzulkan seperti tercantum dalam pasal 7A UUD 1945.

"Kalau penerbitan Perpu KPK ingin dikaitkan dengan pembacaan sekilas terhadap unsur-unsur yang paling tidak mendekati, seperti pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat menjadi presiden, saya kira juga masih jauh," kata Aulia.

Sebab, kata dia, pengkhianatan terhadap negara sebagaimana dimaksud, berkenaan dengan tindak pidana terhadap keamanan negara atau tindak pidana berat lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana yang diancam dengan penjara lima tahun lebih.

Sementara perbuatan tercela berkenaan dengan perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden berkenaan dengan syarat Pasal 6 UUD yang terkait dengan syarat menjadi calon Presiden.

Baca juga: Tokoh senior nasional dukung Presiden segera terbitkan Perpu KPK

"Memang benar UU Korupsi belum bisa berlaku seutuhnya karena belum diundangkan dan menunggu tanda tangan Presiden, akan tetapi langkah itu tetap dapat ditempuh dengan pertimbangan mengoreksi peraturan yang sebelumnya telah tersepakati," jelas dia.

Lebih jauh dia menegaskan di tengah fakta masifnya penolakan masyarakat terhadap UU KPK yang sudah terbuka didepan mata, maka penerbitan Perpu terhadap UU KPK tidak dapat dikualifikasikan sama sekali ke dalam unsur-unsur yang memenuhi syarat pemakzulan.

"Sebaliknya, justru itulah yang seharusnya dilakukan demi menyelamatkan 'negara'," kata dia.

Dia mengatakan korupsi bagaimanapun juga tetap akan menjadi permasalahan yang serius, dan selamanya akan tetap genting untuk diberantas.

Oleh karena itu, menurut dia, perihal tafsir MK terkait syarat dikeluarkannya Perpu yakni adanya “hal ihwal kegentingan yang memaksa”, masih sangat terpenuhi jika dikaitkan UU KPK terkini dengan substansi materi pengaturan yang memperlemah pemberantasan korupsi sehingga tidak memadai.

Baca juga: KSP: Perpu KPK bagai buah simalakama

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Eddy K Sinoel
Copyright © ANTARA 2019