Oleh MaryatiJakarta (ANTARA News) - Ahmad Abiyu Sofyan (12), yang biasa dipanggil Abiyu, beberapa kali terlihat membetulkan letak kaca mata tebal berbingkai coklatnya. Kaca mata itu bukan kaca mata biasa, tapi protesa alias kaca mata yang berfungsi sebagai mata palsu. Putra kedua dari pasangan Nur Asiyah dan Wasmun itu mengenakan protesa sejak dua tahun lalu, saat mata kirinya terpaksa harus diangkat karena telah digerogoti sel kanker. Abiyu kini hanya bisa melihat dengan satu mata, namun dia tetap bisa bermain dan melakukan aktifitas harian seperti anak-anak lain yang indra pengelihatannya lengkap. Siswa kelas VI Sekolah Dasar Negeri Surya Bahari, Tangerang, itu juga bisa mengikuti semua pelajaran di sekolah dengan baik. "Nggak apa-apa," kata Abiyu, yang siang itu mengenakan kaus berwarna hitam dan celana panjang biru. Abiyu juga mengaku tidak pernah lagi merasa kesakitan. Rangkaian pengobatan dan terapi serta operasi pengangkatan mata telah membebaskannya dari derita akibat kanker mata (retinoblastoma). "Karena sering diundang mengikuti acara-acara kanker anak dan bertemu dengan kawan-kawan yang bernasib sama, dia tambah semangat, dia tidak merasa sendirian lagi," kata Nur tentang anak lelakinya. Nur menuturkan, sebelum menjalani pengobatan dan operasi pengangkatan mata, anaknya sering merasa kesakitan. "Ketika berumur tujuh tahun, matanya sering merah. Sudah dibawa ke Puskesmas dan dokter tapi tidak sembuh-sembuh juga. Hampir satu tahun seperti itu," katanya. Lama kelamaan, menurut dia, mata kiri Abiyu jadi seperti mata kucing, bersinar saat terkena cahaya. "Dan, bola matanya pernah hampir keluar," katanya. Nur dan suaminya yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi angkutan kota pun kemudian membawa anaknya ke dokter dan dokter menyarankan mereka untuk membawa Abiyu ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. "Waktu itu saya khawatir sekali, bagaimana nanti kalau harus dioperasi. Bagaimana lagi kami harus mencari uang. Selama ini sudah banyak yang dihabiskan untuk pengobatan Abiyu, karena setiap ada yang menunjukkan tempat pengobatan, selalu kami datangi," ujarnya. Dan kekhawatiran Nur ternyata menjadi kenyataan. Dokter yang menangani Abiyu mengatakan, jika ingin menyelamatkan nyawa Abiyu, maka mereka harus merelakan sebelah mata Abiyu dioperasi untuk diangkat. Soal biaya sudah teratasi karena para dokter membantu mereka mendapatkan bantuan pengobatan gratis dari pemerintah dan yayasan."Tapi, saya kaget sekali waktu dibilang mata Abiyu harus diambil. Sebenarnya tidak terima, tidak rela rasanya melihat Abiyu kehilangan mata. Tapi dokter terus memberi semangat sehingga akhirnya saya pasrah. Saya pikir, biarlah, mungkin sudah menjadi kehendak Allah," katanya sedikit tersendat. "Alhamdulillah, sekarang dia baik-baik saja," kata Nur, sambil memandangi anak laki-lakinya yang sedang makan. Dokter ahli kanker anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Prof. Djajadiman SpA (K) pun mengatakan, pasien retinoblastoma yang sudah menjalani terapi dan operasi pengangkatan mata bisa kembali menjalani hidupnya secara normal. Namun, Kepala Hematologi Anak RSCM itu menjelaskan, kondisinya masih harus dipantau dokter selama lima tahun pertama pascaoperasi untuk memastikan kesintasannya terhadap keganasan yang hanya ditemukan pada anak-anak itu.Angka kejadian kanker pada anak, menurut Prof.Djajadiman, sekitar tiga persen dari total kejadian kanker pada anak-anak usia di bawah 15 tahun. Di Indonesia, jumlah anak yang menderita kanker diperkirakan 9.000 anak dan retinoblastoma --sel tumor yang tumbuh pada retina mata-- merupakan salah satu jenis kanker pada anak yang paling sering ditemui. Penyebab retinoblastoma pada salah satu mata (unilateral) atau kedua mata (bilateral) anak, menurut dia, hingga kini belum diketahui secara pasti sehingga pencegahannya pun menjadi sulit dilakukan. "Diduga berhubungan dengan kelainan genetik. Ada masalah genetik yang menyebabkan pertumbuhan sel yang seharusnya terkendali menjadi tidak terkendali," katanya. Walaupun demikian, ia melanjutkan, dampak penyakit ini bisa ditekan dengan deteksi dini. Retinoblastoma yang ditemukan pada stadium awal bisa disembuhkan. Bahkan, sembilan puluh persen kasus retinoblastoma yang terdeteksi dini dan mendapatkan penganganan memadai bisa disembuhkan. "Dan, mata bisa dipertahankan kalau ukuran kanker masih dibawah 0,5 centimeter," katanya. Ia menambahkan, semakin terlambat dideteksi peluang penderita retinoblastoma untuk sembuh semakin kecil. Dia menjelaskan, kendati gejala spesifik penyakit retinoblastoma pada anak cukup sulit dikenali namun ada tanda-tanda umum yang mesti diwaspadai sebagai gejala retinoblastoma. Retinoblastoma yang diidap anak-anak, kata Djajadiman, sering ditandai dengan mata kemerahan, peradangan, dan adanya bintik putih pada bagian mata yang berwarna hitam. Kalau sudah parah, kata dia, bintik putih tersebut akan membesar dan kemudian akan memantulkan cahaya yang masuk ke mata seperti mata kucing, mata juling serta bola mata menonjol ke luar. Ia mengatakan, bila gejala-gejala itu ditemukan pada anak sebaiknya orang tua segera membawanya ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan lainnya supaya dokter bisa membantu memastikan apakah anaknya terserang kanker. Jika anak tersebut didiagnosis terserang retinoblastoma, menurut dia, maka harus mendapatkan perawatan dan pengobatan sesuai dengan jenis kanker dan stadiumnya. "Kalau dibiarkan atau tidak diobati secara tepat, maka tumor akan berkembang dan menyebar ke sumsum tulang, atau ke otak. Ini maka akan mengancam nyawa si anak," katanya. Ia menjelaskan, retinoblastoma stadium dini biasanya diobati dengan cara pembedahan (operasi) dengan atau tanpa kombinasi dengan mengonsumsi obat kimia (kemoterapi) dan atau menggunakan penyinaran beradiasi (radioterapi). Bila sudah ditemukan dalam stadium lanjut, ia mengemukakan, operasi dengan mengangkat mata terpaksa harus dilakukan, dan setelah operasi dipasang protesa (mata palsu), agar yang bersangkutan tetap berpenampilan baik. Deteksi dini penyakit kanker dapat menyelamatkan anak-anak dari keganasan penyakit yang sering mengakibatkan kematian tersebut. Hanya saja, sebagian besar kasus retinoblastoma ditemukan pada stadium lanjut. "Masyarakat kebanyakan dan petugas kesehatan di tingkat dasar belum punya pengetahuan memadai tentang kanker sehingga belum tahu cara mengenali tanda-tandanya dan apa yang harus dilakukan setelah itu," kata Parulian Simanjuntak dari Koalisi untuk Indonesia Sehat (KuIS). Oleh karena itu, ia menyatakan, guna meningkatkan pemahaman masyarakat, kader kesehatan dan tenaga kesehatan yang bertugas di sarana pelayanan kesehatan dasar, pihaknya bersama Yayasan Kanker Indonesia (YKI) dan Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI) melakukan kampanye deteksi dini kanker terpadu berbasis komunitas. Program kampanye itu dilakukan sejak Mei 2007 hingga Juli 2008 di 10 kelurahan di Jakarta Utara dan Jakarta Barat. "Setelah kampanye itu, kemudian dibuat model kampanye deteksi dini kanker bagi masyarakat untuk digunakan dalam kegiatan kampanye yang lebih luas," katanya. Ia menyatakan, saat ini di juga sudah ada 30 warga yang menjadi kader deteksi dini kanker di wilayah Jakarta yang menjadi target kampanye. "Harapannya, kampanye seperti ini bisa terus dilakukan supaya kasus kanker pada anak bisa ditemukan dan ditangani sedini mungkin sehingga tidak berakibat fatal," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008