Terus cium tangan, maafin Yadi ya bu, cium tangan lagi
Jakarta (ANTARA) - Pedemo Maulana Suryadi alias Yadi (23) sempat meminta maaf kepada ibunya, Maspupah (50) sebelum meninggal dunia usai berunjuk rasa yang berakhir rusuh di sekitar Gedung DPR/MPR RI Jakarta Pusat, Rabu (25/9).
"Terus cium tangan, maafin Yadi ya bu, cium tangan lagi," kata Maspupah yang ditemui di rumahnya di Jalan Abdullah Kampung Baru RT04/03 Kebayoran, Jakarta Selatan, Jumat.
Dengan nada pilu, Maspupah menuturkan Yadi juga sempat memijat badan dirinya seraya terus meminta maaf dan mencium tangan.
Selain itu, Maspupah mengisahkan temannya Yadi bernama Aldo yang bercerita ditangkap petugas kepolisian saat berunjuk rasa di sekitar Slipi, Jakarta Barat.
Baca juga: Kapolri: Tak ada pelajar atau mahasiswa pedemo DPR tewas
"Temannya baru keluar tuh si Aldo, di dalam penjara katanya. Tangkapnya berdua sama Yadi. Saya tanya sama Aldo bagaimana kejadiannya," ujar Maspupah.
Berdasarkan penjelasan Aldo, Maspupah menuturkan saat itu Aldo dan Yadi berdemo di Flyover Slipi ditangkap polisi dan dimasukkan ke dalam mobil.
Di dalam mobil terdapat beberapa orang, kemudian Aldo dan Yadi tidak sadarkan diri, setelah siuman Aldo sudah berada di dalam penjara sedangkan keberadaan Yadi tidak diketahui.
Selanjutnya, polisi menghubungi Maspupah menanyakan keberadaannya saat itu Maspupah sudah berada di rumah usai pulang kerja.
Pada Kamis (26/9) sekitar pukul 20.00 WIB, Maspupah kedatangan delapan orang yang menumpang dua mobil dan diperlihatkan jasad Yadi.
Baca juga: Amnesty soroti taktik pengamanan polisi tak jamin keamanan pedemo
"Polisi ngajak makan dulu. Nggak ah makasih udah kenyang. Polisi bilang Maulana udah gak ada, sabar ya. Saya kaget, nangis. Orang dia masih keadaan sehat," ujar Maspupah.
Sakit asma
Maspupah juga sempat ke Rumah Sakit Polri Kramatjati Jakarta Timur untuk mengurus jasad Yadi dengan disodorkan surat pernyataan mengenai penyebab kematian Yadi.
Menurut Maspupah, surat pernyataan itu berisi Yadi meninggal dunia akibat terkena gas air mata dan penyakit asma.
"Abis itu saya dipanggil sama polisi ke kamar, ngasih amplop buat ngurus biaya jenazah Yadi, Rp10 juta. Saya gak banyak omong, takut," Maspupah menceritakan.
Maspupah juga melihat jasad Yadi yang mengeluarkan darah dari telinga bahkan sempat menanyakan hal itu, namun jawaban dari petugas disebabkan karena penyakit asma.
Saat dimakamkan pun menurut Maspupah, tidak ada petugas kepolisian yang hadir dan jasad mengeluarkan darah.Yadi dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan, Jumat (27/9).
Wanita berusia 50 tahun itu mengungkapkan teman Yadi bernama Aldo sempat mendekam di penjara selama tiga hari dan membantah ikut demo.
Baca juga: Anies belum tentukan langkah atas kabar warga jadi korban demonstrasi
"Dia cerita bukan demo, cuma lihat," tutur Maspupah.
Sementara itu, tim Forensik Rumah Sakit Polri Kramatjati, Jakarta Timur, memastikan tidak ada tanda kekerasan pada jasad Yadi.
"Tidak ada faktor kekerasan pada jasad korban saat kami terima di kamar mayat," tutur Kepala Instalasi Forensik Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Kombes Pol Edi Purnomo.
Satu-satunya petunjuk saat proses autopsi di tubuh korban berada pada pembengkakan pembuluh darah di bagian leher.
"Tapi memang ada pembesaran pembuluh darah di leher. Itu biasanya terjadi pada orang yang mengalami sesak nafas," Edi menjelaskan.
Tidak terima
Ibu korban menyatakan tidak terima jika Yadi dipukuli hingga meninggal dunia karena dituduh ikut demo yang berujung ricuh.
"Dunia akhirat saya tidak terima. Tapi kalau anak saya meninggal karena dari Allah, saya ikhlas," ujar Maspupah.
Wanita yang bekerja menjaga lahan parkir itu mengakui putranya mengidap asma karena turunan dari sang ayah, bahkan terkadang Yadi merasakan sesak nafas saat kambuh.
Maspupah mengatakan suaminya sudah meninggal dunia sehingga Yadi menjadi tulang punggung untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Baca juga: Kapolri: Demo rusuh mirip kerusuhan 21-22 Mei
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan seorang pedemo tewas saat demonstrasi yang berujung rusuh di sekitar Gedung DPR/MPR RI pada pada Rabu (25/9).
Tito menegaskan pedemo yang tewas itu bukan dari kalangan pelajar dan mahasiswa namun kelompok perusuh.
Kapolri juga membantah penyebab kematian korban bukan karena tindakan represif dari aparat yang menangani aksi massa rusuh.
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019