Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi menyebutkan tiga hal pokok yang menjadi persoalan dalam penanggulangan truk kelebihan muatan dan dimensi (over dimension over load/ODOL) yaitu sistem, personel, dan pengawasan kendaraan.

"Dalam penanggulangan ODOL, kami menemui bahwa persoalan utamanya adalah menyangkut masalah sistem, selanjutnya adalah pengawasan, dan para personel,” kata Budi dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.

Perannya adalah pengawasan ODOL seharusnya ada dari Perhubungan dan Kepolisian. Sesuai yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, untuk ranah Kementerian Perhubungan dibatasi pengawasannya yaitu yang pertama di jembatan timbang, yang kedua adalah di terminal bus tipe A.

“Jadi kami dapat mengawasi truk ODOL di kedua lokasi tersebut terutama di jembatan timbang," kata Dirjen Budi.

Dia memaparkan dalam kejadian ODOL ini, ada dua bentuk pelanggaran pertama adalah over dimensi yang menyangkut masalah dimensi kendaraan.

“Kalau dimensinya tidak sesuai dengan regulasi kita, sudah pasti melanggar. Tapi apabila dimensi kendaraan sudah sesuai, namun masih ada kemungkinan untuk overloading. Ini masih ada yang terjadi sekarang," tambahnya.

Selain itu, menurut Dirjen Budi pelanggaran over dimension yang masuk ke Jembatan Timbang tidak banyak.

"Justru yang paling banyak ditemui selama ini di Jembatan Timbang adalah kasus over loading," ungkapnya lagi.

Melalui kegiatan ini, Dirjen Budi mengajak kalangan dealer termasuk karoseri untuk sama-sama belajar menyangkut masalah ODOL agar semakin banyak masyarakat yang sadar dan paham betapa berbahayanya jika ODOL terus menerus dibiarkan.

"Kita semua tahu bahaya dan kerugian yang ditimbulkan dari ODOL ini. Bicara tentang ODOL yang pertama adalah menyangkut masalah regulasi. Regulasi yang sudah kita buat menyangkut dimensi kendaraan sudah jelas. Tinggi dan lebar kendaraan sudah diatur, rancang bangunnya pun sudah dibuat. Kemudian pemeriksaan di kir setiap enam bulan dilakukan uji berkala namun kenapa masih ada yang melanggar? Jadi selanjutnya permasalahannya ada di pengawasan dan personil," ucapnya.

Budi menjelaskan jika pengawasan truk ODOL membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak bahkan lintas instansi mulai dari jajaran personilnya yakni di Ditjen Hubdat sendiri, maupun dibantu oleh Dinas Perhubungan dan Kepolisian.

"Kalau ada orang Dinas Perhubungan di jalan kemudian mereka mengadakan operasi sendiri tidak ada dari kepolisian itu tidak benar. Secara teknis petugas Perhubungan tentu memahami menyangkut masalah dimensi ini namun kalau Kepolisian terbatas hanya soal pelanggaran," jelasnya.

Namun demikian, menurut dia, untuk mengawasi ini bukanlah hal yang mudah meski beberapa pelanggaran dapat langsung dikenali.

"Pelanggaran over loading misalnya dapat dilihat secara kasat mata bisa terlihat apakah kendaraan tersebut melanggar ketentuan atau tidak. Dan sekarang kewajiban setiap kendaraan truk barang itu harus ada surat jalan, itu kewajiban atau kalau tidak bawa surat jalan berarti akan ditilang polisi. Dari surat jalan yang dibuat oleh perusahaannya daya angkut tidak sesuai berarti pelanggaran," katanya.

Salah satu dampak dari truk ODOL adalah kecelakaan lalu lintas. Salah satu kejadian yang baru saja terjadi yakni kecelakaan dump truck di ruas jalan tol Cipularang KM. 91 pada September lalu.

"Dump truck tingginya (seharusnya) sekitar 1-1,3 meter, namun kemarin yang terjadi kecelakaan di Purwakarta tinggi truknya mencapai 1,8 meter. Oleh karena itu saya tak bosan untuk mengingatkan para pelaku maupun pengemudi untuk menaati dimensi dan muatan sesuai ketentuan yang berlaku," katanya.

Baca juga: Kemenhub targetkan masalah truk kelebihan muatan selesai pada 2021
Baca juga: Jasa Marga sambut baik pelarangan kendaraan ODOL masuk tol mulai 2020
Baca juga: Kemenhub kukuhkan PPNS pengawasan kendaraan kelebihan dimensi
p

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2019