Jakarta (ANTARA News) - PT Pertamina (Persero) menyatakan siap "buka-bukaan" soal impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM) ke Panitia Khusus Hak Angket BBM DPR. Dirut Pertamina, Ari Soemarno, dalam diskusi yang diselenggarakan Forum Wartawan Energi dan Sumber Daya Mineral (FWESDM) di Jakarta, Kamis, mengatakan Pertamina terus melakukan tranformasi menuju entitas bisnis yang lebih efisien. "Termasuk, dalam pengadaan minyak mentah dan BBM," katanya. Ari menjelaskan, Indonesia masih memerlukan impor minyak mentah dikarenakan produksi dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan kilang, sebagian minyak mentah lebih ekonomis jika diekspor, dan kilang dalam negeri hanya mengolah minyak impor jenis tertentu saja. Sedang perlunya impor BBM, lanjutnya, disebabkan produksi dan kapasitas kilang dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri yang memang terus mengalami kenaikan. Dari kapasitas maksimal kilang dalam negeri sebesar 1,028 juta barel per hari, hanya memproduksi sekitar 855.000 barel per hari produk BBM dan lainnya. "Khusus produk BBM yang dihasilkan hanya 652.000 barel per hari atau 75 persennya saja, sementara kebutuhan satu juta barel per hari. Artinya, masih perlu impor BBM 300.000-350.000 barel per hari," katanya. Menurut Ari, kegiatan impor minyak mentah memang dilakukan melalui trader, karena hanya sedikit produsen minyak seperti Kuwait dan Arab Saudi yang melayani pembelian secara langsung. Sedangkan, sebagian besar produsen minyak mentah menjual melalui trader sendiri atau independen. Demikian pula, lanjutnya, perusahaan minyak tidak melayani penjualan BBM secara langsung kepada pembeli, namun melalui trader. "Jadi, transaksi minyak mentah maupun BBM sudah umum dilakukan melalui trader. Proses pengadaan ini merupakan pasar yang transparan," katanya. Dalam pengadaan minyak dan BBM tersebut, Pertamina melakukannya melalui tender, imbuhnya. Harapan Mantan Ketua MPR, Amien Rais, yang hadir sebagai pembicara kunci mengatakan, Pansus Angket BBM DPR menjadi harapan besar bagi perbaikan kebijakan energi Indonesia. "Pansus ini menjadi momentum bagi pengungkapan segenap misteri dalam kebijakan energi pemerintah," katanya. Ia meminta, Pansus tidak tergoda dengan kompromi apapun karena masalah yang ditanganinya merupakan masalah fundamental yang mesti diselesaikan. "Jangan sampai terjadi kompromi dan dipolitisasi, karena rakyat lagi yang akan menderita," katanya. Anggota Pansus Tjatur Sapto Edy mengatakan, Pertamina mesti menjelaskannya kepada publik dalam proses pengadaan impor yang bernilai ratusan triliun rupiah, karena menyangkut hajat hidup orang banyak. "Kenapa hanya 5-7 perusahaan saja yang dipilih dari 42 rekanan dan kenapa juga waktu tendernya sangat singkat," katanya. Tjatur menambahkan, berdasarkan data yang diambil dari Pertamina, potensi kerugian dari lebih mahalnya impor BBM antara Januari-Mei 2008 mencapai Rp1,18 triliun. Menurut Ari, efisien atau tidaknya impor Pertamina bisa dibandingkan dengan acuan yang ada seperti patokan harga minyak di Singapura. "Jadi, mesti dipelajari secara mendalam acuan-acuan yang ada. Kita akan buka semua dan tidak ada yang ditutupi," katanya. Menyangkut impor Zatapi, Ari mengatakan, pihaknya memilih Zatapi karena harga minyak tersebut yang lebih murah dibandingkan jenis lainnya. "Zatapi juga sesuai dengan kilang kita," katanya. (*)
Copyright © ANTARA 2008