Jakarta (ANTARA News) - Sebagai seseorang yang pernah menjadi target kebijakan penembakan misterius ("petrus") pada 1980-an, Bathi Mulyono (60) mengaku masih sangat terluka bila mengingat masa-masa kelam tersebut."Bayangkan, bahkan ada orang yang ditembak pada hari raya Idul Fitri. Padahal, lebaran seharusnya adalah saat-saat di mana seseorang berkumpul dengan anggota keluarganya yang lain," kata Bathi.Lelaki asal Jawa tengah itu mengaku mengetahui dirinya menjadi target setelah rumahnya dan rumah orang tuanya pernah digerebeg oleh sejumlah petugas pada 1983."Saya saat itu juga menjabat sebagai ketua perhimpunan eks narapidana `Fajar Menyingsing` wilayah Jawa Tengah dan DIY," kata Bathi.Setelah sadar dijadikan target, ia mengaku sempat melarikan diri hingga ke sejumlah negara luar negeri seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Bahkan, Bathi juga tidak sempat melihat perkembangan anaknya yang dilahirkan bersamaan dengan saat lelaki yang akrab dipanggil BM itu melarikan diri dari kejaran para pelaku "petrus". Namun, Bathi dan anaknya yang kini berusia 25 tahun, Lita, telah bertemu kembali. Lita kini menjadi seorang biduan yang telah merilis album berjudul "Tirai Kelahiran 1983", yang lagu-lagunya banyak mengupas kekelaman masa lalunya terutama yang terkait dengan "petrus". Peluncuran album itu dilakukan di Kantor Komnas HAM pada 15 Juli 2008, yang dihadiri oleh sejumlah aktivis seperti Ketua Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid dan istri dari pejuang HAM Munir, Suciwati. Peluncuran album tersebut memiliki momen yang pas karena pada saat ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memulai penyelidikan terhadap kasus "petrus", yang dimulai sejak Juli 2008. Ketua Tim Adhoc Peristiwa "Petrus" 1981-1983, Yosep Adi Prasetyo mengatakan, pada zaman Orba, "petrus" merupakan sebuah jalan pintas yang digunakan pemerintah untuk mengurangi angka kejahatan. Caranya, lanjut Yosep, dengan mengeksekusi mati sejumlah orang dengan cara menembak mereka yang dituduh sebagai preman dan membiarkan mayatnya tergeletak di jalanan. "Kebanyakan dari mereka umumnya dijumpai masyarakat dalam keadaan mengenaskan," katanya. Selain "petrus", ujar Yosep, terdapat pula istilah lainnya yang dikaitkan dengan peristiwa tersebut antara lain "matius` (mayat misterius) dan "hilarius" (orang hilang misterius). Ia juga memaparkan, sebagian korban sebelum ditembak mengalami penyiksaan yang sangat berat, seperti ada korban yang ditemukan dengan dua tembakan di kepala dan kepalanya patah menghadap belakang serta di lehernya terdapat bekas jeratan tali. "Kasus penembakan misterius ini mendapat perhatian dari sejumlah organisasi internasional, termasuk dari Menteri Luar Negeri Belanda Hans van Broek yang pada 4 Januari 1984 melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia," katanya. Yosep tidak bisa memastikan jumlah korban "petrus", tetapi ia memperkirakan mencapai angka ribuan. Sementara itu, Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan, penyelidikan terhadap kasus "petrus" yang terjadi di Tanah Air pada 1980-an juga bermanfaat untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat Indonesia yang skeptis terhadap hukum dan sistem peradilan. "Guna mengembalikan kepercayaan kepada hukum, kita perlu menyelidiki kembali apa yang terjadi dengan operasi `petrus` tersebut," kata Ifdhal. Menurut dia, penyelidikan kasus tersebut oleh Komnas HAM bukanlah dalam rangka membalas dendam, tetapi untuk mengungkapkan akar kesalahannya agar tidak terulang kembali di masa mendatang. Ifdhal menuturkan, kini sudah saatnya bagi seluruh anggota masyarakat untuk tidak menyetujui operasi-operasi pembersihan preman semacam "petrus". Ia menyesalkan masih terdapat sejumlah anggota masyarakat yang masih main hakim sendiri dan melontarkan kata-kata seperti "bunuh saja, tidak usah ke pengadilan" bila mereka menemui penjahat yang tertangkap basah. Untuk itu, ujar Ifdhal, langkah serius yang harus dilakukan agar operasi semacam "petrus" tidak muncul lagi di tengah masyarakat adalah dengan menguatkan sistem hukum pidana di Indonesia.Masih rahasia Mengenai tindakan penyelidikan yang akan dilakukan, Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM Hesti Armiwulan mengatakan, pihaknya masih merahasiakan berbagai rincian prioritas menyangkut hal tersebut. Namun, ujar dia, secara garis besar penyelidikan akan dilakukan antara lain dengan meminta keterangan para saksi atau memanggil sejumlah orang yang berkaitan dengan kasus "petrus". Ia menuturkan, Komnas HAM kemungkinan besar juga akan memanggil sejumlah pejabat yang terindikasi memiliki kaitan dengan kasus "petrus" yang telah menyebabkan banyak orang tewas ditembak pada paruh awal dari dekade 1980-an itu. "Bisa juga kami mencari bukti dengan mengotopsi kembali jenazah para korban," katanya. Selain itu, Komnas HAM juga akan melakukan dialog intensif dengan Kejaksaan Agung agar kedua instansi tersebut dapat menemukan kebenaran dalam peristiwa "petrus" pada zaman Orba. Hesti menuturkan, dialog intensif ini harus dilaksanakan agar dua institusi tersebut dapat lebih mengungkapkan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Selain dengan Kejagung, ujar dia, pihak lainnya yang kemungkinan akan diajak berdialog terkait dengan kasus "petrus", antara lain DPR . Mengenai masih banyaknya hasil penyelidikan kasus pelanggaran HAM yang belum memuaskan bagi sebagian anggota masyarakat, menurut dia, Komnas HAM tidak akan mundur karena telah berkomitmen untuk mengungkapkan berbagai tindak pelanggaran HAM. "Komnas HAM telah mendapatkan mandat dari undang-undang dan komitmen dari negara yang harus dihormati," kata Hesti. Menanggapi langkah dari Komnas HAM untuk menyelidiki kasus "petrus", Bathi mendesak Komnas HAM agar benar-benar menunjukkan kegigihannya dalam mengusut tuntas kasus tersebut. "Sekarang saya ingin melihat seberapa jauh Komnas HAM punya kesungguhan dan kegigihan dalam mengungkap kasus `petrus`," kata Bathi. Hesti mengatakan, pihaknya tidak berniat sedikitpun untuk menjadikan hasil penyelidikan dari Tim Adhoc Peristiwa "Petrus" 1981-1983 hanya semata-mata menjadi semacam kajian. "Kami bertekad untuk mengungkapkan kebenaran dari peristiwa tersebut," katanya.(*)

Pewarta: Oleh Muhammad Razi Rahman
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008