Depok (ANTARA) - Penerima Australian Awards 2019, Devie Rahmawati mengatakan pendidikan vokasi dan akademik bisa saling bersinergi untuk bersama membangun demi kemajuan bangsa.

"Berdasarkan hasil diskusi dengan beberapa profesional di Australia, tidak ada dikotomi antara pendidikan vokasi dan kademik. Hanya saja, di sini, semua orang didorong fokus dengan minatnya, untuk mengambil studi yang relevan dengan kemampuan dan keinginan mereka untuk berkarir di masa datang," kata Devie dalam keterangan tertulisnya, Kamis.

Ketua Program Studi Vokasi Humas Universitas Indonesia (UI) tersebut mengatakan pendidikan vokasi ditujukan bagi individu yang memang ingin berkarir sebagai profesional di industri. Sedangkan pendidikan akademik, ditujukan bagi individu yang ingin meniti jalan sebagai pengajar dan peneliti misalnya.

Baca juga: RI - Singapura lanjutkan kerja sama bidang pendidikan vokasi

Baca juga: 99 persen wisudawan Pendidikan Vokasi UI lulus tepat waktu

Namun lanjut Devie bukan berarti terjadi pemisahan yang kaku antara kedua pendidikan tersebut. Lulusan vokasi juga dapat mengambil pendidikan akademik untuk memperkaya pengetahuan teoritis. Sedangkan lulusan akademik, akan mengambil pendidikan vokasi untuk mendapatkan ketrampilan profesional.

Sebagai penerima Australia Award Devie Rahmawati mengunjungi Tafe Queensland, salah satu Pendidikan Tinggi Vokasi di Queensland, Australia.

Tafe memiliki lebih dari 90 program studi dari 15 area studi dan 500 lebih pelatihan sertifikasi. Kunjungan dilakukan di ruang kelas dan laboratorium praktik.

"Sekolah vokasi di Australia menjadi tiket utama untuk mendapatkan pekerjaan yang mendapatkan penghasilan tinggi. Salah satu profesi, lulusan D3/D4 (S1 Terapan) nya justru mendapatkan pendapatan sekitar 100-150 ribu setahun, sedangkan pekerja yang lulusan S1 akademik mendapatkan sekitar 55 ribu dollar setahun," ujar Devie.

Studi yang dikeluarkan oleh McCrindle Research and Skilling Australia Foundation menyebutkan bahwa 68 persen lulusan Akademik mendapatkan pekerjaan sesudah lulus dari universitas.

Sedangkan 92 persen lulusan Vokasi telah mendapatkan pekerjaan, bahkan ketika baru menyelesaikan kelasnya. Hal ini terjadi karena mereka sudah melakukan praktik kerja semenjak di masa studinya,” tutur penggiat Klinik Digital Vokasi.

"Kondisi yang berbeda di Australia, para lulusan S1 akademik, banyak yang kemudian selepas lulus, kembali menempuh studi di vokasi untuk mendapatkan sertifikat atau pendidikan D3/D4. Hal ini didorong oleh permintaan industri di Australia, terhadap kualifikasi utama yaitu ketrampilan kerja," jelas Devie.

"Membangun pendidikan vokasi yang profesional tidaklah mudah. Pemerintah Australia benar-benar memberikan dukungan kebijakan dan keuangan bagi pendidikan Vokasi," ujarnya.

Devie menjelaskan Program Vokasi Humas, salah satu program studi di Universitas Indonesia, yang terus belajar dan mengembangkan program-program dan kurikulum yang mendekatkan praktik industri dengan studi di kampus.

"Selain memiliki ruangan kelas dan lab yang memadai, semenjak tahun 2018, kami sudah menjalankan kurikulum 3-2-1 secara utuh, dimana para mahasiswa kami sudah praktik di industri semenjak semester 4, 5 dan 6," katanya.

Mereka berada di industri bukan sebagai mahasiswa magang, tetapi melakukan praktik pekerjaan terkini bersama mentor-mentor industri, yang membuat banyak lulusan vokasi humas sudah diminta untuk bekerja, meskipun belum lulus dari pendidikan vokasi.

Baca juga: Rendahnya literasi sebabkan hoaks bisa menjadi pemecah belah bangsa

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019