Jakarta (ANTARA News) - Pengamat migas Pri Agung Rakhmanto meminta Panitia Hak Angket Bahan Bakar Minyak (BBM) DPR menyelidiki setidaknya tiga hal, yakni pengeluaran "cost recovery," pengadaan BBM, dan kebijakan energi pemerintah. "Tiga hal itu yang mesti menjadi fokus Panitia Hak Angket DPR," katanya di sela-sela diskusi publik "Menyoal Cost Recovery dan Penyelewengan Minyak dan Gas" di Jakarta, Rabu. Menurut Pri, yang juga Direktur Eksekutif ReforMiner, Panitia Angket BBM DPR bisa menyelesaikan ketiga persoalan tersebut dalam waktu satu tahun. Pri menjelaskan, dalam hal "cost recovery" atau biaya operasi migas yang dikembalikan pemerintah, Panitia Angket DPR mesti bisa menekan pengeluaran antara 10-20 persen. "Kalau `cost recovery` tahun 2008 sudah dialokasikan 10 miliar dolar AS, dengan ditekan 10-20 persen, maka penghematan uang negara bisa mencapai 1-2 miliar dolar AS," katanya. Dikatakannya, rencana pemerintah menghapus 17 item "cost recovery" belum secara signifikan menekan pengeluaran, mengingat ke-17 item hanya sebagian kecil dari biaya administrasi. Ke-17 item itu, lanjutnya, juga sudah semestinya dihapus, karena sangat tidak layak diganti uang negara. "Seharusnya, item `cost recovery` yang ditekan menyangkut operasi berupa pengadaan barang dan sewa peralatan," katanya.Pengadaan dan distribusi BBM Fokus Panitia Angket DPR kedua, kata Pri, adalah dalam hal pengadaan BBM yang juga termasuk impor dan ekspor minyak mentah. Menurut Pri, selama ini, memang tidak ada yang tahu berapa persisnya biaya pengadaan BBM. "Tugas Panitia Angket untuk membuktikan apakah memang ada atau tidak mafia minyak," katanya. Panitia Angket DPR juga mesti menggugat pola distribusi BBM bersubsidi yang memakai formula patokan harga BBM di pasar Singapura (mean of Platt`s Singapore/MOPS) ditambah alpha. Menurut dia, formula tersebut tidak tepat karena hanya 35 persen minyak mentah yang diimpor, sedang 65 persen lainnya merupakan diproduksi di dalam negeri. Biaya alpha juga masih lebih mahal antara 3-4 persen, imbuhnya. "Kalau satu persennya bernilai Rp2,5 triliun, maka penghematan bisa Rp7,5-10 triliun," katanya. Selain itu, lanjutnya, berdasarkan perhitungannya, terdapat selisih biaya impor dengan ekspor minyak mentah yang mencapai lima dolar per barel. Menurut dia, seharusnya PT Pertamina (Persero) tidak perlu mengekspor, namun membeli seluruh produksi minyak dalam negeri. Menyangkut kebijakan energi, Pri Agung mengatakan, Panitia Angket perlu membuat standar atau indikator menyangkut kinerja pemerintah dalam kebijakan energi. Misalkan indikator target minyak mentah terjual atau "lifting," gangguan suplai seperti kelangkaan minyak mentah atau elpiji, dan pemadaman listrik. "Mesti ada standar berapa kali gangguan suplai atau pemadaman listrik dalam setahun yang memang layak," katanya. Ia menambahkan, Panitia Angket bisa meminta bantuan tim ahli guna menentukan standar tersebut. (*)
Copyright © ANTARA 2008