Hal tersebut terkait pemohonan uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang diajukan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Dalam sidang pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu, Perludem di antaranya meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 agar pemungutan suara terbagi atas pemilu serentak nasional untuk memilih DPR, Presiden, dan DPD serta pemilu serentak daerah untuk memilih DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/kota, gubernur, bupati dan walikota.
Baca juga: Peneliti LIPI: Pemilu 2019 harus dievaluasi dan dicarikan solusi
Sementara Mahkamah Konstitusi telah memutuskan pilkada bukan rezim pemilu berdasarkan Pasal 22e UUD 1945. Sedangkan Pilkada diatur dalam Pasal 18 ayat 4 UUD 1945.
Hakim Palguna menilai permohonan Perludem berangkat dari asumsi pemilu merupakan hal yang sama dengan pilkada, padahal apabila dikabulkan akan membawa konsekuensi hukum yang banyak, termasuk penyelesaian sengketa pilkada.
"Asumsi begitu sesungguhnya permohonan ini, ya betul, seperti membuat undang-undang baru meskipun yang diminta beberapa pasal, tetapi ini menyatukan dua undang-undang," kata hakim Palguna.
Baca juga: Anggota DPR usulkan dua jenis evaluasi pelaksanaan Pemilu 2019
Ia menegaskan meskipun tidak terdapat batasan penafsiran atas norma, Mahkamah tidak dapat membentuk undang-undang baru karena di luar kewenangannya.
Untuk itu, Perludem diminta melakukan perbaikan atas pemohonan terhadap uji materi dua undang-undang tersebut sebelum 15 Oktober 2019.
"Kami akan perbaiki, Yang Mulia, kami ucapkan terima kasih atas nasihat yang diberikan," tutur kuasa hukum Perludem Fadli Ramadhanil.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019