Balikpapan, (ANTARA News) - Bisa merebut tiga medali emas dalam satu kali ajang PON sudah terbilang hebat, apalagi jika hal itu dilakukan dalam penampilan perdana. Luar biasa, mungkin itu menjadi kalimat yang paling tepat diucapkan kepada petenis muda DKI Jakarta, Christopher Rungkat. Pemuda kelahiran Jakarta, 14 Januari 1990 itu berhasil membawa tim putra DKI merebut medali emas dengan menumbangkan tuan rumah PON 2008 Kalimantan Timur, yang diperkuat petenis nomor satu Indonesia Elbert Sie, pada laga final. Saat itu Christo, sapaan akrab anak ketiga dari empat bersaudara itu, menyumbang dua angka dari nomor tunggal dan ganda, berpasangan dengan Hendri Susilo Pramono. Prestasi yang sama dilanjutkannya pada nomor perorangan tunggal putra. Hebatnya, dalam perjalanan menuju gelar juara Christo, yang diunggulkan di posisi ketiga, berhasil menaklukkan dua petenis berperingkat di atas dia. Peringkat dua nasional Sunu Wahyu Trijati dari Jawa Tengah dilibasnya pada semifinal. Kemudian ia mempermalukan Elbert di hadapan pendukungnya sendiri pada laga puncak di Stadion Tenis Balikpapan, Selasa. Sempat kalah 4-6 di set pertama, Christo mengamuk di dua set berikutnya untuk membenamkan Elbert 6-2, 6-0. Pada hari yang sama, setelah beristirahat selama sekitar satu setengah jam usai laga tunggal, ia kembali turun di final ganda putra, juga berpasangan dengan Hendri. Christo/Hendri kemudian hanya butuh waktu sekitar satu setengah jam untuk menaklukkan ganda Sulawesi Utara Ariawan Poerbo/Ferdy Fauzi 6-4, 6-0, dan memastikan "hattrick"-nya di PON ke-17 itu. "Luar biasa. Perasaan saya sulit diutarakan dengan kata-kata," ujar Christo menjelang pengalungan medali untuk para pemenang. "PON memang telah menjadi target saya sejak awal tahun. Tapi, bisa merebut tiga medali emas di PON pertama saya, sungguh luar biasa," imbuhnya. Bahkan manajer tim tenis DKI Imam Supardi pun tidak menyangka hal tersebut bisa dilakukan Christo. "Untuk nomor beregu dan ganda putra memang sudah diprediksikan. Tapi tidak di nomor tunggal putra karena di sana ada Elbert dan Sunu," tutur Imam. "Salut untuk Christo," lanjutnya. Korbankan Wimbledon Tetapi, untuk bisa ikut PON, alumni SMA Ora Et Labora Jakarta itu harus rela tidak ikut serta di nomor ganda putra turnamen bergengsi Wimbledon yunior karena waktunya berdekatan. Padahal, untuk ganda kelas yunior, Christo termasuk diunggulkan setelah berhasil menjadi juara Prancis Terbuka yunior bersama pasangannya, petenis Finlandia Henri Kontinen. "Kini semua sudah terbayar, bahkan sepertinya berlebih," ujarnya. "Saya memang sudah berencana tidak ikut ganda di Wimbledon dan Henri mengerti alasan saya," jelasnya. Setelah PON, ia segera bersiap untuk mengikuti beberapa turnamen lagi di dalam dan luar negeri, termasuk Amerika Serikat Terbuka yunior. Banyak "Duitnya" Christo berlatih tenis sejak usia enam tahun karena tertarik saat melihat ayahnya, Michael Rungkat, dan ibunya, Elvia, bermain. "Ayah kemudian mengajak saya bermain dan ibu pun mendukung saya untuk serius menggeluti tenis. Bakat tenis saya mungkin menurun dari ayah," paparnya. "Saya pun menemukan kesenangan sendiri di tenis," tambahnya. Tapi dari empat anak keluarga Rungkat itu, hanya Christo yang terjun ke dunia tenis. Saat ditanya mengapa ia tertarik kepada tenis, dengan polos ia menjawab, "Karena banyak duitnya." "Saya tidak munafik dengan itu karena kita kan pasti butuh uang. Iya kan," jelasnya seraya tersenyum. Walau tim DKI enggan mengungkapkan berapa besar bonus yang bakal diterima para peraih medali emas, tetapi kocek Christo pasti segera bertambah tebal. "Saya mau beli rumah dan mobil, juga beli HP karena HP lama saya dicuri waktu di Eropa kemarin," jawabnya saat ditanya mau diapakan bonus hasil kerja kerasnya itu. Prestasi di tingkat nasional sudah, kini saatnya Christopher Rungkat bekerja lebih keras mengasah kemampuannya agar bisa berprestasi di tingkat Internasional. Sudah lama pecinta tenis Indonesia merindukan atlet nasional bisa berbicara di arena dunia.(*)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2008