Semarang (ANTARA News) - Sebanyak 89 perusahaan jasa pengiriman angkutan barang melalui laut di Jawa Tengah terancam bangkrut, menyusul tingginya biaya buruh bongkar muat peti kemas di Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS) Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.Menurut Wakil Ketua Gabungan Forwarders dan Ekspedisi Indonesia (Gafeksi) Jateng, Ari Wibowo, di Semarang, Selasa, biaya buruh bongkar muat peti kemas di TPKS mencapai Rp700 ribu-Rp800 ribu per peti kemas."Biaya ini merupakan tertinggi di pelabuhan Jawa. Kondisi ini menyebabkan 89 perusahaan anggota Gafeksi Jateng terancam bangkrut. Dari 189 perusahaan yang ada, hanya 100 perusahaan yang masih beroperasi," katanya di sela seminar "Meningkatkan Arus Transportasi Laut Komoditi Andalan Jateng".Kondisi ini, katanya, menyebabkan hanya perusahaan bermodal besar saja yang mampu bertahan. Selain masalah biaya bongkar muat yang mahal, anggota Gafeksi juga mengeluhkan infrastruktur di luar pelabuhan yang masih memprihatinkan, misalnya rob yang merusak kondisi jalan.Hal ini menyebabkan eksportir dan importir tidak efisien jika mengirimkan atau menerima barang melalui Pelabuhan Tanjung Emas Semarang sehingga mereka lebih memilih mengalihkan ke pelabuhan lain, seperti Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. "Masalah itu menambah penderitaan anggota Gefeksi Jateng semakin terpuruk setelah kenaikan harga BBM yang menyebabkan biaya transportasi melonjak hingga 20 persen-30 persen," katanya. Di tengah persaingan antarforwader yang ketat, katanya, langkah menaikkan harga kepada konsumen sangat sulit karena dikhawatirkan malah akan beralih ke "forwarder" asing yang berbiaya murah. Menurut Ari, masuknya "forwarder" asing ke Indonesia tidak dapat ditolak menyusul pemberlakukan AFTA. Forwarder asing memiliki kelebihan pada akses ke luar negeri dan permodalan besar, yakni mencapai Rp 2 miliar, sedangkan di Indonesia cukup dengan modal Rp200 juta sudah bisa mendirikan perusahaan forwarding. "Kini sudah ada delapan forwarder asing yang beroperasi di Indonesia yang menguasai hampir 40 persen order," katanya.(*)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2008